Elegi Cinta di Musim Kemarau
Oleh: Junaidi Khab*
Suara burung-burung di reranting pohon
pada pagi hari itu membawa suasana lebih sejuk nan indah. Bagaikan
berada di taman surga Firdaus meski tak pernah melihat dan
mengunjunginya. Lambaian-lambaian daun pepohonan memberi isyarat bahwa
ia tidak sendirian. Terpaan angin di
daun-daun itu menjadi teman sesandingan dalam tiap langkah yang aku
tapakkan di atas bebatuan tempat aku mengadu perasaan pada alam.
Kehidupan di atas bebatuan itu tidak memberi secercah harapan meski
terasa bahagia hidup dalam lantunan dan syair-syair para pujangga cinta
di lembah kegersangan.
Sebongkah batu yang terpaku, merenungi
nasib dirinya yang tak ada kata dari suara hatinya. Kian hari kian
menghitam oleh terpaan sinar sang surya. Namun tak ada kata hina bagi
dirinya. Bagiku ia teman yang setia dalam menunggui terbenamnya sang
surya di kala sore hari atau di kala pagi hari. Kini mungkin hidupku
juga bernasib sama dengan batu itu. Terdiam membisu tak ada kata yang
dilontarkan lantaran hati bimbang perasaan gundah gulana dirundung
nestapa oleh kisah cinta yang kujalani. Aku telah lama berbagi dengan
batu hitam pekat itu.
Di musim kemarau itu aku tak memiliki
gairah hidup lagi dalam mengarungi bahterah di dunia ini. Segalanya
sirna. Segalanya binasa. Bukan hanya tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan
yang menghembuskan nafasnya pada musim itu. Kisahku mungkin terlalu
prematur kejadiannya. Tak mungkin mampu menghadapi elegiku yang masih
terus bermuara dalam lubuk hati ini.
Sosok gadis cantik dan manis kini harus
lenyap dari pelukanku. Aku tak mampu memeluknya. Aku lemah dibanding
kekuatan Tuhan. Tak ada rinai-rinai yang memberikan harapan dalam setiap
lamunanku. Istri tercintaku ikut terbang bersama Israil. Tiba-tiba
lamunanku dihembus suara molek di belakangku.
“Yah, kenapa sendirian?”.
Aku langsung menoleh melihat pada
datangnya suara molek tadi. Tak ada angin, tak ada suara burung. Suara
itu jelas di telingaku mengingatkanku pada sosok Safirah istriku yang
telah diskusi dengan Israil.
“Eh, Rita, ada apa nak?”.
“Lapar yah…”.
Suasana girang dalam hatiku redup
seketika di saat Rita mengeluh lapar. Bahan persediaan di rumah sudah
tinggal beberapa kantong beras saja. Cukup untuk dua bulan jika makan
dalam sehari hanya dua kali dengan sepiring nasi. Dadaku kuusap. Air
mataku menetes. Cepat-cepat aku mengkedipkan terus agar Rita tak tahu
apa yang sedang terjdi pada diriku sebagai sosok ayah yang tak memiliki
pekerjaan apapun. Apalagi di musim kemarau saat ini.
Kugendong Rita dibawa pulang ketika
matahari sudah mulai menguning. Kata-kata indah selalu kulontarkan. Itu
sebagai ganti sesuap nasi yang biasa ia lahap tiap hari. Raut mukanya
tampak ceria ketika aku memberikan rumor yang menggelikan hatinya. Namun
kala itu senda gurauku tak mempan lagi. Mungkin rasa laparnya sudah
melilit perutnya. Rita terus mengeluh kelaparan setelah terjaga di malam
hari.
Dengan mata masih panas lantaran baru
saja terpejam, aku dengan tubuh bergoyang mendekati periuk yang berisi
nasi. Tinggal setengah piring dengan lauk daun ketela dan garam putih.
Sepiring nasi itu pun kubawa ke hadapan Rita. Dengan lahap ia langsung
menghabisinya. Ia terlelap setelah melahap sepiring nasi.
Malam itu aku tak sempat memejamkan mata
lagi. Perasaanku berbicara dengan heningnya malam musim kemarau yang
begitu membekukan kulit dan rongga tenggorokan. Bersamaan dengan angin
yang berlalu di depan rumahku, terdengar ketokan pintu dari luar rumah.
Perlahan aku mendekati gagang pintu rumah. Kubuka dengan kehati-hatian
dan memastikan siapa yang datang malam-malam seperti ini.
Angin sudah terlelap tidur berdekapan
dengan bintang-bintang. Tak ada seorang pun setelah pintu kubuka. Tak
jauh dari halaman rumah, aku melihat sosok tubuh berambut terurai
panjang. Hanya tampak bayangan hitam dalam pekatnya malam. Dengan
perasaan gamang aku menghampirinya.
“Siapa?”.
“Oh, mas Alfin”.
“Iya, ini siapa”.
“Saya mas, Lameda”.
Mendengar jawaban itu aku langsung
mendekat dan bicara atas kedatangannya malam-malam seperti itu di luar
teras rumah. Lameda sebenarnya ingin melampiaskan nafsu birahinya dengan
diriku. Namun ketika ia mulai bicara yang aneh-aneh aku berusaha
mengalihkan pembicaraan. Hingga larut malam perbincangan dengan Lameda
masih mengasap di atas dinginnya malam di bawah sinar-sinar bintang yang
memberikan sejuta keindahan bak suami sitri yang sedang berbagi.
Tak lama setelah terlalu larut malam aku
pun pamit masuk rumah, mengarungi dinginnya malam. Lameda pun mengiyakan
pamitanku dengan sedikit sinis karena keinginannya tak bisa kupenuhi.
Aku dan dirinya sama-sama dirundung nestapa. Suaminya selingkuh dengan
perempuan kaya di lain desa. Sementara diriku ditinggal istri yang setia
padaku dan Tuhanku.
Aku pun mulai menyelimutkan kain ke
sekujur tubuhku. Angin yang bersahutan di daun-daun pepohonan di luar
rumah menidurkanku dalam dinginnya malam. Rita begitu nyenyak di
sebelahku mengarungi dunia mimpinya. Sejenak aku melupakan sosok Safirah
yang terus membayangi hidupku.
***
Rembulan musim kemarau baru bangkit dari
peraduannya. Lampu lilin dinyalakan oleh Rita di dapur dan rumahku.
Lantunan ayat suci dari bilik kamar Rita terdengar begitu merdu. Bintang
bersahutan dan mengamini tiap ayat-ayat yang dibaca oleh Rita. Aku
menapakkan kaki ke kamarku sendiri. Merebahkan tubuh terasa capek
memikirkan sosok Safirah yang begitu setia padaku selama hidupnya.
Bersamaan dengan angin berlalu-lalang
tiba-tiba jendela terbuka. Aku hanya melihat jendela yang terbuka lebar
itu. Perlahan muncul gerakan bayangan hitam. Dari bentuknya seperti
gadis setengah baya. Rasa kaget pun menyelimuti pikiranku. Selimut yang
semula di kaki kutarik sampai menutupi wajah. Dalam pikiranku yang
datang itu bayangan Safirah yang selalu berada dalam hati dan pikiranku.
Selimut kubuka, tapi bayangan hitam itu
mendekatiku. Kumenyalakan lilin yang memang kuhemat. Sinar lilin
menyinari ruangan kamarku. Kini terlihat jelas wajah cantik rambut hitam
pirang di hadapanku. Lameda datang diam-diam ke kamarku. Entah apa
maksudnya. Dalam benakku ia ingin melampiaskan birahinya padaku. Memang
benar, setelah makin lama ia memelukku. Aku bingung harus berbuat apa.
Jika aku bentak ia akan marah dan kecewa lalu keluar dengan kasar
kemudian dilihat tetangga. Malam itu pun aku dengan dirinya menjalin
asmara tanpa sepengetahuan Rita di kamar sebelah yang sudah lelap
setelah membaca ayat al-Qur’an.
***
Rasa sesal bertambah dalam hidupku. Aku
telah berbuat dosa atas ketidaksanggupanku menahan derita ini. Bimbang
terus menjadi-jadi dalam kehidupanku. Setidaknya rasa bersalahku akan
sirna dengan menikahi Lameda janda muda itu. Setelah beberapa bulan aku
merenung, akhirnya aku harus melamar Lameda dengan mahar yang tidak
begitu isitimewa.
Namun setelah keluarga baruku terbangun,
harapanku jauh dari kehendak Tuhan. Lameda yang dulu penyayang terhadap
Rita, lambat laun ia mulai sinis dengan keberadaan Rita dalam
keluargaku. Tanpa sepengetahuanku Rita sering dimarahi dan kadang
dijewer. Itu aku tahu dari tetangga sebelah yang melihat perlakuan
Lameda pada Rita ketika aku berangkat kerja untuk menghidupi mereka
berdua.
***
Angin musim kemarau di depan rumah
berseleweran. Matahari sudah mulai menguning. Ayam dan anak-anaknya
ramai mengajak tidur mengarungi ratu kedinginan. Aku pun menaruh pakain
lusuh yang kukenakan kerja serabutan milik tetangga. Sejenak aku rebah
di lantai depan rumah. Suasana rumah sangat sepi. Pintu tertutup rapat.
Lampu-lampu belum dinyalakan.
Aku mencoba menghangatkan suasana. Aku
bangkit menuju gagang pintu yang tak menyapaku sejak tadi. Pintu kuketok
lalu aku masuk rumah. Tak ada suara angin. Rumahku berantakan. Kaca
hancur. Seakan isi dalam dadaku akan keluar bagai lava gunung merapi.
Pikiran kacau. Perasaan was-was diliputi oleh puing-puing beling yang
berserakan di lantai.
Segera aku menuju kamar Rita. Pintunya
ditutup tidak begitu rapi. Aku langsung menerobos celah kecil pintu itu.
Aku tidak dapat bergerak setelah melihat tubuh Mungil Rita bergantung
bak kelelawar terjebak perangkap. Rambutnya teracak-acak. Tak ada meja
atau kursi yang terlihat sebagai penopang kakinya. Istri tercintaku
telah lapuk dimakan rayap. Kini anakku harus menelan tali-temali di
sela-sela lehernya.
Aku keluar rumah mencari Lameda. Jalan
satu kilo meter kutempuh bagaikan kilat yang melesat ke rumah Lameda.
Suasana gelap lantaran sang surya sudah tertidur setelah mendengar
lantunan nama-nama Tuhan di masjid. Ternyata Lameda sudah menutup pintu.
Dengan muka merah. Nafas naik turun. Aku langsung menendang pintu
rumahnya. Keadaan masih terasa sepi. Kamar khusus Lameda langsung
kutatap dengan mata memerah. Ia hanya terdiam dengan muka memutih bak
kapur di dinding. Ia bangkit dengan selimut kusam.
Satu langkah ia menapakkan kakinya
tanganku terbang memenuhi pelipisnya. Tak ada suara tangisan. Air
matanya mengucur. Hidungnya berdarah. Keringat-keringat di tubuhku
mencoba melepas amarahku. Namun sekian dicoba menenangkan jiwaku, darah
makin deras mengalir ke seluruh sel otot di tubuh.
Tanpa pikir panjang aku menarik tubuh
Lameda membentur kayu runcing bekas ranjang yang rusak di sebelah tempat
tidurnya. Tubuh terpasung dengan darah mengalir dari perutnya. Perlahan
ia menyerahkan nafas terakhirnya padaku. Musnah sudah cintaku. Istriku,
anakku, dan Lameda hanyut dalam kegersangan karena takut tidak makan
dalam keluargaku hingga menggantung anakku satu-satunya yang kucintai.
Kini aku harus pasrah pada mertuaku dan
masyarakat demi cintaku di musim kemarau ini yang terkoyak oleh
kegersangan dan ketakutan lapar oleh istri keduaku. Korban cintaku,
anakku sendiri. Kini semua sudah lapuk dimakan liarnya kemarau yang
harus meneteskan darah.
Malam-malam di saat bintang mulai sahut
menyahut dan sapa menyapa dengan kedip-kedip mesra. Masyarakat dan
mertuaku mengarakku menuju jeruji besi. Aku meninggalkan cinta
kematianku yang tergantung dan terpasung di dalam gubuk. Cintaku harus
damai bersama gersangnya tanah. Daun-daun kering di halaman rumah
menjadi saksi cintaku yang berakhir duka ini. Terpaan kemelut jiwa yang
harus menjadi mahal dalam perjalanan bahteraku.
Surabaya, 12 April 2013
Elegi Cinta di Musim Kemarau
Reviewed by Unknown
on
23.34
Rating: 5
Tidak ada komentar: