CITA-CITA ANAK PEMULUNG



CITA-CITA ANAK PEMULUNG
Oleh: Daeng Kuswiyanto
Malam semakin larut di pelupuk mata. Perlahan dingin membungkus tubuh yang masih duduk termenung di pinggir jendela. Pohon pencakar langit menjulang tinggi, dan di setiap daunnya menyimpan bercak cahaya yang memantul dari rumah sebelah. Sepertinya malam ini aku telah seutuhnya disetubuhi dalam gelap perenungan. Tapi, entahlah apa yang kurenungkan.
 Ketika kunang-kunang terbang melintas di depan mata. Tiba-tiba mengingatkanku pada adik yang ada di kampung halaman. Dia suka main kunang-kunang setiap malam, bahkan dalam kamarnya, seperti bertabur beribu lampu kecil yang berkelap-kelip. Aku ingin seperti adik yang setiap malam selalu menghabiskan waktu dengan yang disukainya tak lain dengan kunang-kunangnya.
Sepertinya sulit bagi keadaan hidupku saat ini, yang hidup di tengah-tengah hirupukuk perkotaan, yang semua masyarakatnya mayoritas individualis, tapi mau gimana lagi, semua ini untuk keluarga di kampung. Aku akan melakukan apa saja demi orang tua dan keluarga. Terkadang hidup di kota enak tidak enak, kadang menyenangkan karena banyak lampuh yang bermacam-macam hias di setiap trotoar dan membosankan ketika malam semakin beranjak, sepi, sunyi, pokonya lengkap dimalam hari. Sepertinya mataku kantuk dan mengajak untuk terlelap, kubaringkan tubuh di atas alas tikar, kemudian tenggelam dalam gelap malam di kamarku.
Pagi-pagi sekali usai sholat subuh, aku harus siap-siap untuk bekerja, pekerjaan yang  menjadi rutinitasku setiap hari. Tak sedikit orang yang selalu bertanya pada Mbok[1] di kampung.
“Emangnya Fendi kerja apa di kota, kok dia nggak pernah pulang?”
Pertanyaan yang selalu terlontar ketika tetangga bertemu dengannya, namun Mbok hanya termenung dan terdiam diri. Aku yakin dengan pertanyaan itu Mbok memliki beban yang dalam hidupnya. Bahkan suatu ketika Mamak[2] pernah menghubungiku lewat telpon dan pertanyaan yang disuguhkan pertama kali padaku
“Kamu kerja apa di situ nak.”
mendegar pertanyaan itu, aku tidak dapat menjawabnya. Aku hanya terdiam dan tidak mampuh untuk menuturkan sepatah kata pun.
“Ya sudah nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita pada Mamak, tapi saranku carilah pekerjaan yang halal,” lanjut Mamak.
Aku tetap terdiam tak mampu untuk berkata apa-apa pada beliau. Mulut seakan terkunci, terpatri dan terpaku. Sampai pada akhirnya Mamak memutuskan sambungan telponnya.
            “Aku pasti akan mencari pekerjaan yang halal Mak, Mbok. Tapi, maaf untuk saat ini, anakmu belum bisa memberitahumu tentang pekerjaanku.” Aku hanya bisa menjawab dengan suara hati. Jujur perasaanku hancur, aku yakin kedua orang tuaku kecewa, karena aku tidak menjawab perntanyaannya, aku yakin itu.
            Ternyata jam telah membisu pada pukul 11:48, anehnya aku tidak mendengar suara adzan duhur, sungguh. Tanpa banyak berpikir, aku langsung singgah di masjid Al-Husna untuk ikut berjemaah sholat dhuhur. Usai sholat kusempatkan sedikit dzikir serta berdoa untuk meminta restu niat dari masa kecilku hingga dewasa ini, untuk menaikkan haji bagi kedua orang tuaku, walau itu hanya sebatas umroh, dengan hasil jerih payahku sendiri. Semoga tuhan mengabulkannya, amin. Dalam setiap doa, aku tidak pernah meminta selain niatku itu, tidak  pernah!. Tidak peduli panas dan hujan aku harus tetap semangat untuk mencapai cita-citaku yang sangat sulit, tapi aku yakin di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selama kita bekerja keras dan tetap semangat.
            Alhamdulillah,” bisikku  dalam hati. Tanpa disadari ternyata gerobakku sudah full dengan botol dan barang bekas dari berbagai macam merek  serta kardus yang sudah kusam. Aku bekerja sebagai pemulung. Pekerjaanku memang tidak bernilai dimata semua masyarakat. Bahkan, terkadang banyak yang merasa jijik ketika melihatku dengan pakaian compang-camping, tapi apa peduliku, ini pekerjaan muliaku, ini hobiku, dan inilah kemampuanku, yang penting mendapatkan uang halal.
Itu salah satu alasanku mengapa tidak mampu bertutur tentang pekerjaanku pada kedua orang tua, karena aku takut, beliau malu dengan pekerjaan yang kusandang saat ini. Nasibku memang buruk, tapi setidaknya, aku tidak patah semangat dan tetap berjuang demi cita-cita. Sudah hampir 18 tahun menjadikan pekerjaanku sebagai hobi, biar aku tidak pernah merasa bosan pada pekerjaan yang menurut sumua orang pekerjaan yang tidak berkelas dan menjijikkan.
            Dari hasil pekerjaanku setiap hari, aku hanya mengambil secukupnya untuk dimakan, walau hanya sebatas nasi putih dan dengan lauk garam. Bagiku sudah nikmat luar biasa. Sungguh buruk nasib hidupku. Menjelang sore tiba, aku harus sudah pulang, lantaran gubuk  reotku yang teletak berpuluh-puluh kilo meter jauhnya, dan setiap harinya paling lambat aku sampai pukul setengah sembilan malam, setiap hari rutin seperti itu.
            Rencanaku tahun ini akan segera pulang kampung, namun dalam hal kepulanganku, aku tidak akan meberi tahu siapapun kecuali ustadzku yang nantinya akan kuminta pertolongannya. Setelah tiba di gubuk, aku langsung mandi dan sholat isya’, karena rencananya habis sholat mau menghubungi ustadz di kampung.
            “Ya Allah kabulkanlah cita-citaku, semoga engkau merestui apa yang hamba ini cinta-citakan. Amin.”  Doa itu tidak pernah kulupa setiap selesai sholat. Usai sholat aku langsung mencoba menghubungi guru dan semoga nomernya masih aktif, dan ternyata nomernya benar-benar aktif dan beliau langsung mengangkat telponku.
            Assalamualaikum. Ini siapa?”
            Waalaikum salam. Saya Fendi, ustadz,” jawabku dengan lirih.
            Astagfirullah hal adzim, kamu Fen?” Mendengar namaku beliau langsung kaget, mungkin karena sekian tahun lamanya tidak pernah ada komunikasi dengan beliau.
            “Iya, uztadz. Gimana kabar sempeyan, ustadz?”
            Alhamdulillah, baik Fen. Bagimana denganmu? Dan kamu ada di mana? Kapan pulang?”
            Alhamdulillah, baik juga ustadz,” jawabku lirih
            “Aku ingin tahu pekerjaanmu Fen, sampai-sampai kamu lupa kampung halaman, kalau bisa ceritakan, siapa tau aku bisa membantumu,” pintanya.
Tanpa ada rasa malu kuceritakan semua tentang diriku semenjak hidup di kota, semua aku ceritakan pada beliau, dan tak lupa pada niatku yang pertama untuk menanyakan harga umroh pada beliau, dan beliau menjawab sedetail-detailnya. Akupun minta bantuan padanya untuk mengurus umrohnya kedua orang tuaku, tanpa orang tuaku mengetahuinya. Sampai pada akhirnya sambungan telpon terputus, karena pulsa yang habis.
Menjelang beberapa bulan beliau memberi informasi bahwa pendaftaran umroh sudah selesai tinggal menunggu pemberangkatan ke tanah suci. Tepatnya bulan Februari aku pulang ke kampung halaman tanpa ada yang mengetahui selain ustadz. Hal yang sangat aku rindukan kepulangan ini, ingin cepat-cepat menghirup senyum kedua orang tua di kampung, entahlah seudah sekeriput apa wajah-wajah beliau.
Benar-benar lama sakali aku tidak menatap kembang senyumnya. Sesampainya pelabuhan di kampung halaman tak sengaja mata ini melihat sosok paruh baya yang berdiri tengak, serta melihat kesana-sini seperti ada yang mau dijemputnya. Astaga, jangan-jangan beliau sengaja mau menjemputku, aku yakin beliau akan lupa sama wajahku, tapi aku tidak akan pernah lupa pada sosok rupa beliau.
            Assalamualaikum, ustadz.”
            Waalaikum salam, siapa?” bertanya lirih ustadz padaku, dan benar-benar lupa.
            “Saya Fendi ustadz.”
Mendengar tutur kataku beliau langsung memelukku sambil mencium keningku, dan air matanya menetes tepat di bahuku, beliau tidak berkata sepata pun dan langsung membawaku pulang dan mengantarkanku sampai rumah. Bismillah, kuinjakkan kaki di halaman rumah yang penuh dengan krikil kecil, dengan seketika wanita yang sudah tua langsung lari mengahmpiriku dengan senyum dan air mata beserta teriakan haru.
            “Anakku, kamu sudah pulang, nak. Kenapa kamu tidak memberi tahu ibu, kenapa,?” sambil mengalir air mata di pipinya.
Tanpa menjawab pertanyaan Mbok aku langsung mencium kedua kakinya serta memeluknya dengan erat, dan tak mampu untuk melepaskan pelukanku padanya, tak lama kemudian dari remang mataku, aku lihat Mamak yang sudah tua keluar dari rumah dengan senyum dan air matanya, menghampiriku dan memelukku. Hampir  saja aku pingsang karena saking bahagianya melihat kedua orang tuaku yang sudah menua. Mendengar isak tangis Mbok, tentangga berbondong-bondong berdatangan, serta menatap dengan keheranan.
            “Maafkan anakmu Mbok, Mamak, selama ini tidak pernah memberi kabar, karena anakmu malu, anakmu takut Mbok dan mamak kecewa” aku bertutur sambil diiringi isak tangisku.
            “Malu kenapa nak? Malu kenapa?” tanya Mbok dengan isak tangis yang masih menderuh kencang. Belum sempat menjawab pertanyaan, ustadzku langsung mengambil pembicaraan.
            “Anakmu bekerja sebagai pemulung di kota orang, bekerja keras, tidak kenal panas dan dingin, dia tetap semangat demi selembar kertas ini” ustadz sambil memberikan kertas itu yang tak lain kertas umroh pada Mbok, Mamakku.
            “Aku tidak butuh kertas ini, aku tidak butuh,” jawab Mbok yang masih bersama isak tangis.
            “Ini adalah kertas yang sangat berharga, yang jarang anak orang lain mampuh membelinya dengan jerih payahnya sendiri, ini adalah formulir umroh Puk[3], ini kertas formulir umroh” mendengar suara ustadz yang lumayan keras, semua tentangga menghembuskan nafas dan menggelengkan kepalanya.      
            “Apa maksud ucapan ustadzmu nak” tanya Mbok padaku
            “Itu adalah hasil kerja kerasku selama belasan tahun Bok, Mak, hanya itu yang dapat anakmu berikan, dan semoga Allah merestui selembar kertas itu yang nantinya akan membawamu ke tanah suci, seperti yang Mamak, Mbok impinan selama ini.” Mendengar jawabanku, Mbok langsung pingsan dipelukanku. Aku pun ikut tenggelam dalam ketidak sadaran. Dunia gelap dimataku, entah untuk sementara atau gelap untuk selamanya dalam gelap kebahagiaanku.




[1] Panggilan untuk seorang ibu (b. Madura)
[2] Panggilan untuk seorang ayah
[3] Panggilan pada seorang perempuan yang lebih tua

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.