NAPAK TILAS AWAL MULA SEJARAH PULAU GILIYANG



NAPAK TILAS AWAL MULA SEJARAH PULAU GILIYANG
Berawal dari pengembaraan waliallah K. Daeng Musolleh yang mempunyai gelar k.soro laksana yang berasal dari dua kata suro dan laksana. Suro yang berarti “ikan hiu” Sedangkan laksana berarti “melaksanakan perintah”, di tinjau dari segi nama saja K. Daeng Musolleh mengandung makna yang sangat filosofi dan artinyapun sangat medalam.
K.Daeng Musolleh adalah keturunan dari Daeng Karaeng Galsum, beliau berasal dari pulau sulawesi daerah selatan tepatnya daerah Makasar, beliau adalah orang yang pertama kali memberikan nama pulau giliyang ,sedang nama itu berasal dari dua kata “GILI” yang berarti pulau sedang “IYANG”berarti nenek moyang.tetapi secara termologi adalah pulau peninggalan nenek moyang. K.SURO LAKSANA yang saat ini dipahami oleh penduduk lokal giliiyang.
Penyebab pertama terjadinya pengembaraan Daeng Musolleh adalah terjadinya sangketa/peperangan antara kerajaan Losari dan kerajaan Toraja yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, pada saat peperangan berkecamuk saat itu tentara belanda hanya tersenyum menyaksikan persengketaan dua kerajaan tersebut,karena belanda mengirah keberhasilan  telah terbendung dalam genggamannya disebabkan rencana adu domba yang di rakit oleh kolonial tentara belanda berhasil menguasai tiku’ keegoisan  kedua belah kerajaan tersebut . Oleh sebab itulah K.Daeng Musolleh memutuskan untuk mengembara ke arah barat pulau sulawesi untuk mencari pulau yang ” malang e are ”, dalam berjalannya sebagian orang mengatakan bertahun-tahun di tengah lautan ,yang lebih aneh lagi ikan yang di kendarai adalah ikan hiu bertanduk, dan anehnya lagi ikan itu menyilam disaat terik matahari menyengatnya dan kembali muncul kepermukan air ketika mendung berarak mengiringi perjalanannya, dari perjalan panjangnya, kemudian beliau singga di pulau “MANOK”disana beliau hanya beberapa jam saja dan kembali meneruskan perjalanannya sebab pulau itu tidak begitu efektif dengan tujuan atau maksud tujuannya, kemudian beliau melihat pulau”PAJHENGAN”beliau pun menyinggahi pulau itu hanya sekejap mata saja dan kembali meluncur ke arah barat dan disana beliau melihat garis terindah dengan tatapan mata yang tak begitu sempurna dilihat dari kasat mata,lambat laun beliau meluruskan titik perjalanannya sehingga segeralah beliau ke pulau tersebut  dan menyinggahinya denagan penuh rasa terkejut dan penaaran dan tempat itulah yang benar-benar menjadi incaran pertama atas apa yang telah beliau rencanakan. Kampung leggun adalah tempat pertamakali beliau injakkan kakinya di pulau tersebut tepat dibagian utara desa banraas.Sejauh itu beliau merasa tidak betah tinggal di sana disebabkan suasana kurang mendukung,Maka dari itu beliau pindah ke pelabuhan samirun tepat kampung bancamara barat.disanalah beliau turun dan mengikat ikan hiu tanduk pada tiang besi yang dibuat dengan hasil keringatnya sendiri sehingga beliau menetap selama beberapa hari dan setelah itu beliau memutuskan untuk mendatangi kerajaan sumenep yang saat itu dipimpin oleh sultan abdurrahman sekitar tahun 1818 M. Beliau meminta izin untuk menetap di pulau tersebut,kemudian sultan abdurahman mengizinkan beliau untuk menempati pulau tersebut,namun dengan satu syarat beliau harus kembali ke pulau sulawesi untuk menjemput sanak keluarganya dengan jumlah 16 orang,dan pada akhirnya beliau mulai berangkat menuju pulau sulawesi,dalam perjalanannya beliau sekitar satu tahun dan pada saat itu sultan abdurrahman mengutus dua orang,satu laki-laki dan satu perempuan ia adalah sepasang suami istri.Tahun demi tahun telah bertambah usia bahkan ada yang mengatakan kedua orang itulah yang melestarikan pulau tersebut. Dan pada akhirnya beliau membentuk asrama di tengah-tengah pulau di perbatasan desa Banraas dan Bancamara  hingga saat ini dikenal dengan sebutan”BUJU’ BUJHEL”. Pada akhirnya Daeng Musolleh tiba kembali ke pulau tersebut dengan membawa nama PULAU GILIYANG / SERE ELANG. Kemudian beliau membangun gedung nyaris dengan bangunan Sulawesi yang berbentuk panggung sehingga saat ini nama itu menjadi sebutan nama kampung pasar panggung. Setelah beberapa lamanya K. Daeng Mushalleh menetap sampai mempunyai beberapa keturunan sehingga dipulau itu semakin banyak penduduk lokalnya, dan takhanya keturunan beliau yang menjadi penduduk pulau itu akan tetapi dari desa berata Pamekasan yang dibuang kepulau Giliyang alasannya karna orang tersebut tertimpa penyakit lepra yang memang sengaja dibuang kepulau Giliyang bahkan tawanan tawanan yang hampir bebas dari penjara diasingkan ke Giliyang. Konon katanya Pulau Giliyang pernah dijadikan tempat tawanan perang oleh Raja Sumenep. Sebagian besar penduduk Giliyang terdiri dari lembaga permasarakatan {LP} Sumenep yang dikenal dengan sebutan Patandhan oleh masyarakat setempat. Sehingga yang menjadi tokoh masyarakat hingga saat ini diambil dari keturunan K. Daeng Mushalleh.                  Daeng Machura Moh. Hosen adalah cucu dari Daeng Mushalleh yang pernah menjabat sebagai Adipati Kerajaan Sumenep. Diantara saudaranya beliaulah yang mempunyai perbedaan baik dari segi kulit, Rambut, kumis dan alis. Bahkan dari seluruh bagian tubuhnya tumbuh terbalik tidak seperti biasanya dan berkulit mirah. Kelebihannya, ketika beliau marah pintu masuk Kerajaanpun Tidak muat untuk dilewati. Pada era penjajahan koloneal Belanda ada istilah yang disebut Rumusa artinya Kerja paksa tanpa upah. Dan itu terjadi diseluruh Nusantara.

 Lanun adalah orang belanda yang berkulit hitam datang dari Jawa ke Giliyang tujuannya hanya untuk mengangkut seluruh  penduduk Giliyang untuk dijadikan kuli membuat rell Kereta api dari Jawa Barat ke Jawa Timur, Akhirnya suluruh penduduk Baniting, Lembana dan Bancamara berbondong untuk menemui daeng Machura, Mereka memintak Daeng Machura untuk tidak mengisinkan lanun membawa ke Jawa.Setelah itu Daeng Machura secara tegas memutuskan pada segolongan lanon bahwa apabila penduduk giliiyang ingin diangkut maka Daeng Machura meminta untuk ikut bersamanya,kemudian lanon membawa semua penduduk giliiyang untuk segera menaiki kapal pengangkutnya,tetapi setelah Daeng Machura menaiki kapal itu ternyata kapal tersebut seakan terombang ambing dan seperti kapal yang mau tenggelam seolah ingin terperangkap. Maka dari itu lanon kembali khwatir dengan kejadian tersebut, sebab itulah Daeng Machura mengatakan dengan tegas bahwa kejadian ini menandakan bahwa masyarakat giliiyang tidak diizinkan oleh tuhun untuk di bawah ke jawa, maka dengan kejadian itu, masyarakat giliyang tidak jadi di bawa ke jawa berkat pertolongan Deang machura, dan tak terbayangkan apa yang akan terjadi di jawa nanti, jika masyarakat giliyang sampai di bawanya.
Siti Aisyah adalah orang yang membesarkan isyhaq seorang keturunan ketujuh K.Daeng Musolle ia adalah seorang pemelihara Buaya yang di kalungi rantai besi,buaya itu muncul kepermukaan dan kedaratan menemui siti aisyah setiap malam jumat , dan juga sepupu dari taha ayah isyhaq adalah K.Daeng Kutub Asy’ari yang dikenal sebagai pendakwa hingga kepulau kangian dan beliaupun berhasil mengarang kitab,dan orang pertama kali di angkat menjadi kepala desa Bancamara adalah putra dari Daeng Machura yang orang memanggil Datuk  Kalebun hingga pada saat ini ,dan ketika masih ada K.Daeng Musholle ada peristiwa yang sangat aneh menimpah pulau giliiyang,waktu itu pulau giliiyang ingin dijajah oleh belanda dan merekapun ada di perairan giliiyang dengan awak kapalnya yang sangat besar ,namun dengan kewalian K.Daeng Mushole hanya mengangkat dan memperlihatkan selemar daun sirih pada kolonial belanda itu, kemudian pulau giliiyang langsung lenyap dan menghilang dari pandangan orang-orang belanda,
SILSILAH DAENG MUSHOLLE
Daeng musholle (k. Suro laksana )
Daeng bati
Daeng machura(m.husen)
Abdul hamit(kpl desa pertma kali/datuk kalebun)
Abdus sahid
Taha
Ishaq
Berhenti disinilah nasab daeng musholle karena ishaq keturunannya adalah perempuan semua.
semoga bermamfaat.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.