SEJARAH PEMERINTAHAN DI GILI IYANG
SEJARAH
PEMERINTAHAN DI GILI IYANG
Sejarah pemerintahan di Gili Iyang telah dimulai pada preode
awal pembabatan (sekitar abad XVIII) saat para pembabat Gili Iyang menjalin
hubungan yang sangat akrap dengan kadipaten Sumenep kala itu. Daeng Karaeng
Masalle tercatat sebagai orang pertama yang menghubungkan Gili Iyang dengan
pemerintah Sumenep. Persahabatan yang terjalin antara Karaeng Masalle dengan
kota Sumekar mulanya diawali adanya hubungan kerjasama dalam hal pembabatan.
Pada perkembangan berikutnya hubungan yang terjalin antara dua tokoh mulai
meluas, menyangkut kebijakan-kebijakan politik kadipaten Sumenep waktu itu.
Adapun bentuk kebijakan politik pemerintah kedipaten Sumenep
kala itu adalah menjadikan Gili Iyang sebagai tempat bagi para narapida yang telah
menjelani proses kurungan di Sumenep. Panggung menjadi markas utama para narapidana
di Gili Iyang dibawah pengawasan langsung dari Daeng Karaeng Masalle.
Keberhasilan Daeng Masalle dalam mendidik para pelaku
kriminal telah manarik perhatian pemerintah Sumenep terhadap Gili Iyang hingga
beliau pun dianggkat menjadi penasehat Kadipaten Sumenep pada zamannya.
Sepeninggal Daeng Karaeng Masalle tonggak kepemimpinan dipegang oleh putranya,
Daeng Ahmad Bati, lalu dilanjutkan oleh cucunya Muhammad Husen alias Daeng
Macura (Sora Difa) bin Daeng Ahmad Bati bin Daeng Masalle. Pada masa
kepemimpinan Muhammad Husein, hubungan yang terjalin dengan pemerintah Sumenep
tidak hanya sebatas penasehat, melainkan telah naik pada taraf yang lebih
tinggi yaitu sebagai pengambil kebijakan di bidang meliter. Sultan Abdurahman
Pakunataningrat menganggatnya sebagai punggawa kadipaten Sumenep yang saat itu
berada dibawah kekuasaan kerajaan protestan Hindia Belanda.
Kendatipun Gili Iyang telah memiliki nama dalam pandangan
Sultan Abdurrahman. Tetapi struktur pemerintahan di Gili Iyang belum diatur
secara tertip. Hal tersebut disebabkan pengaruh dari sistem yang diterapkan
oleh pemerintah Hindia Belanda yang sifatnya sentralistik. Baru pada
pertengahan abad ke-19 terjadi perubahan penerapan sistem pemerintahan yang
nantinya melahirkan sistem rasidensil (pemerintahan desa).
Pembantukan Struktur Pemerintahan di Gili Iyang
Kebijakan
kerajaan protestan Hindia Belanda dalam merubah penerapan sistem yang sentral
menjadi residensil telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Gili
Iyang. Implikasi dari perubahan kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut
melahirkan sistem pemerintahan baru di Gili Iyang (residensil). Pembentukan
sistem baru tersebut diorentasikan untuk kepentingan penertipan administrasi
pemerintahan kerajaan protenstan Hindia
Belanda. Munculnya Kyai Abdul Hamid Sora Laksana sebagai pemimpinan pertama
menjadi babak baru yang dalam sejarah pemerintahan di Gili Iyang. Pada masa
kepemimpinannya, Gili Iyang masih ada dalam satu kesatuan wilayah. Belum ada
pemisahan garis toritorial batas wilayah pemerintahan antara dua desa (Banra’as
dan Bancamara). Pada saat itu, Kyai Abdul Hamid Sora Laksana disebut Kalebun
Gili Iyang yang sacara legal-formal menjadi pemimpin pulau tersebut. Sistem
pemerintahan tunggal ini bertahan hanya sampai dua preode, yaitu pada masa
kemimpinan Kyai Abdul Hamid Sora Laksana hingga masa kepemimpinan putranya,
Abd. Syahid bin Kyai Abdul Hamid Sora Laksana.
Pada masa kepemimpinan selanjutnya (awal abad XX), baru
terjadi pembagian kekuasaan yang kita kenal sekarang sebagai Kalebun Bancamara
dan Banra’as. Thaha bin Abd. Syahid adalah pemimpinan pertama desa Bancamara,
sedangkan untuk desa Banra’as dipemimpin oleh Pak Limbeng. Pengangkatan Kalebun
pertama Bancamara dan Banra’as terjadi masa akhir pada penjajahan Kerajaan
protestan Hindia Belanda hingga masa penjajahan Sinto Jepang (1942). Dan pada
perkembangan selanjutnya terus menyalami penyempurnaan baik dari sistem maupun
pola penerapannya. Dusun-dusun di masing-masing desa mulai terbantuk dengan
pengelolaan yang mulai rapi. Begitulah sejarah singkat pemerintahan di Gili
Iyang. Semoga dapat menambah waasan antum dan bermamfaat. Amin.
Tidak ada komentar: