TIGA TOKOH PEMBABAT GILIYANG



TIGA TOKOH PEMBABAT GILIYANG
Dahulu kala pulau Sere Elang atau yang kita  kenal sekrang dengan Giliyang adalah hutan belantara, secara logika mustahil untuk menjadi tempat tinggal para hamba. Namun siapa sangkah ternyata ada Waliullah yang sudi untuk membabatnya dan dijadikan tempat yang sangat luar biasa, sehingga seiring dengan pergantian waktu berkembang sampai sekarang.
Tahukah anda, siapa yang telah berjasa mengubah hutan belantara di pulau sere Elang itu.?. Penasaran?
Kali ini saya ingin mencoba membuat ramuan khusus untuk mengobati rasa penasaran antum-antum semua. Penasaran lagi kan tentang ramuan itu? hehe, baik saya akan memberi tahu tentang ramuan itu pada antum semua.
Ramuannya tidak pahit layaknya jamu, melainkan ramuan ilmu dan informasi yang diperoleh dari sesepuh kita. Kali ini saya akan kenalkan pada antum dengan sosok inspiratif yang telah berjasa membabat hutan belantara Gili Iyang. Beliau-beliau itu adalah Daeng Kareng Masalle, Jhu’ sanga’, dan Jhu’ Tarona (Andang Taruna). barangkali antum belum mengenal tiga sosok tokoh diatas kan? Kepengen kenal lebih jauh?
MAKAM JHU' SANGA'

Baik saya akan memulainya dari yang pertama, yaitu Jhu’ Sanga’. Dilihat dari namanya, sepertinya mengandung makna filosofis “ Jhu’ Sanga’ “ mengingatkan kita para sembilan wali alias wali Songo penyebar agama Islam di Tanah Jawa. Konon menurut pitutur sesepuh, Jhu’ Sanga’ datang dari darah barat (mungkin dari Sumenep) sembari menaiki sebatang kayu besar. Ia membawa gentong (Madura: Ghentong), pelteng, lenggis (Madura: Rajheng), dekko semacam Lesung. Dengan alat taradisional tersebut, Jhu’ Sanga’ membabat hutan belantara Gili Iyang yang masih sangat sepi, tak berpenghuni. Dari pembabatan yang digagas oleh jhu’ Sanga’ itu, terbentuklah satu pemukiman kecil di Gili Iyang dan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman hingga sekarang. Jhu’ Sanga’ wafat di Gili Iyang, tapi mengenai tanggal dan tahun wafatnya belum ada yang tahu. Makam Jhu’ Sanga’ sekarang ada di pesisir pantai desa Banra’as tepatnya di Dusun Ra’as sebelah utara pelabuhan.

  MAKAN JU' TARONA ( ANDANG TARUNA)

Sosok tokoh kedua yaitu Ju’ Tarona (Andang Taruna). Kalau antum-antum pernah jalan-jalan di daerah tengah (Buchel) Gili Iyang, disitulah antum akan melihat makam besar. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Astana Jhu; Tarona alias Andang Taruna. Mengenai asal usul Jhu’ Tarona mari kita simak selanjutnya.
Menurut cerita dari pitutur sepuh, Jhu’ Sanga’ itu berasal dari pulau Binongko (sekarang masuk wilayah kebupaten Wakatobi Sulawesi Tenggara). Semenjak berada di tanah kelahirannya (baca : pulau Binongko) Ju’ Tarona sering berfikir untuk bisa sampai ke pulau yang menempati posisi sejajar dengan garis katulistiwa (Madura: malang Eare). Beliau ingin mencari pulau yang belum dihuni manusia. Konon katanya, Jhu’ Tarona menyebut Gili itu sebagai pulau keramat/berkah persis seperti yang dikatakan suku Mandar, Sulawesi Selatan.
Setelah melalui proses perjuangan yang cukup terjal dan berliku, akhirnya cita-cita yang beliau bangun dalam pencariannya pada pulau yang memiliki posisi sejajar dengan garis katulistiwa tercapai juga. Menurut sumber cerita dari pitutur sesepuh, Ju’ Tarona datang ke Gili Iyang bersama dua orang, yang satu adalah mendiang istrinya  dan satu lagi sosok yang  tak dikenal.
 MAKAM K. DAENG MASALLE

Selang beberapa waktu kemudian, adiknya Jejhep Prana menyusul, pengikut serta kerabatnya dari pulau Binongko juga ikut serta dalam perjuangan tersebut. Dan muridnyapun tidak mau ketinggal, ia ikut andil dalam menyelesaikan misi mulia itu (baca: membabat Gili Iyang). Misi Ju’ Tarona dalam membabat Gili Iyang tidak sampai selesai. Kerena tiga tahun setelah proses pembabatan berjalan, Jhu’ Taronapun akhirnya wafat.     
Mengenai sosok tokoh yang  terakhir adalah Daeng Kraeng Masalle atau yang lebih akrap disapa To’ Daeng. Dari ketiga tokoh pembabat Gili Iyang Kraeng Masalle termasuk tokoh yang paling fenomenal di tengah-tengah masyarakat Gili Iyang. Karena selain cerita prihal hidupnya yang mashur itu, data-data untuk mengungkap jati dirinya ternyata cukup banyak sahabat. Dari silisilah nasab yang tercatat dalam Lontara Goa disebutkan bahwa Karaeng Masalle memiliki ikatan kekeluargaan yang sangat dekat dengan keluarga kerajaan Goa-Tallo. Ibundanya, I Bisu Malibba  Karaeng Papelleng, adalah kakak dari Sultan Alauddin. Ia termasuk putri ketiga dari Karaeng Bonto Langkasa I Maggorai Daeng Mammeta Tunijallo Raja Goa ke XII 1565-1590 M, bersama dengan salah seorang istrinya, raja Tallo V Karaeng Bainiya I Sabo Daeng Niassing. Berdasarkan sumber ini (baca: Lontara) Karaeng Masalle masih termasuk keponakan dari Sultan Alauddin. Selain itu, Karaeng Masalle juga mempunyai adik perempuan bernama I Tama Lili. Adiknya yang satu ini kelak menjadi salah satu tokoh perempuan berpengaruh di Sulawesi Selatan. Demikian menurut catatan yang termaktub dalam lontara Goa Tallo ini Parallaka ri Balanda 1883 M.
Latar belakang kehijrahan Karaeng Masalle ke Gili Iyang, diawali oleh adanya sebuah tugas mulya dari ke dua orang tuanya, untuk mengemban dakwah Islam ke bumi seberang sembari mencari sebuah pulau yang posisinya sejajar dengan garis katulistiwa (Madura: malang eare). Titah mulya itupun ia laksanakan sepenuh hati, seraya penuh harap semoga apa yang beliau jalani menjadi sarana untuk menggapai ridha Ilahi.
Menurut tradisi lisan masyarakat Gili Iyang, Karaeng Masalle dua kali datang ke Gili Iyang. Kedatangannya yang pertama dalam rangka survei tempat, sedangkan yang kedua kalinya bertujuan untuk berdomisili bersama keluarganya di Gili Iyang.
Dalam proses pembabatan Gili Iyang Karaeng Masalle mendapat dukungan penuh dari Adipati Sumenep. Bahkan Adipati Sumenep kala itu mengirimkan beberapa utusan guna membantu menyukseskan pembabatan Gili Iyang. Berkat perjuangan dan kesungguhannya itu, misi pembabatan Gili Iyang berjalan sukses yang pada akhirnya beliaupun diangkat menjadi penasehat di Kadipaten Sumenep. Daeng Kraeng Masalle wafat di Gili Iyang pada tahun 1211 H/1796 M. Makamnya sekarang ada di desa bancamara, tepatnya sebelah timur SDN Bancamara I.
Walhasil, ketiga sosok tokoh diatas adalah sosok yang gigih berjuang tanpa kenal lelah dan letih tanpa pamrih. Mereka telah meninggalkan sejuta kenangan pahit dan panis dalam derap perjuangan yang mereka lakoni. Kisah tentang kegigihan, kesabaran, dan keteguhan mereka dalam berjuang menjadi satu pelajaran penting untuk kita petik hikmahnya sebagai bekal perjuangan masa depan nanti. Jangan pernah melihat seperti besar kesilnya dari rintangan itu, tapi nikmati proses didalamnya. Maka semuanya akan lebih mudah untuk dijalaninya.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.