ngatan Daun

ngatan Daun

OLEH: JUNAIDI KHAB
Ingatan Daun - Junaidi Khab - Kedaulatan Rakyat

Orang-orang di seberang pasti menganggapku dan tetangga kampungku sebagai orang tak tahu dunia yang terus menggelinding maju. Aku semakin hari semakin merasa tak memiliki dunia lagi. Seakan-akan dunia lenyap oleh gemerlapan dunia yang diangaap harus berubah total. Padahal tak perlu mengikuti arus kerlap-kerlip dunia yang pada kenyataannya merusak dunia.
Dahulu, nenekku mengajarkan cara mendapatkan uang dengan cara yang mudah dan sederhana. Aku diajak ke ladang-ladang dan ke hutan. Aku merasa masuk pada dunia baru di rimba belantara. Tapi kini tak ada hutan yang bisa menjadi kenyataan hidupku. Hidupku yang hakiki. Hutan-hutan ditebang dan yang tersisa hanya tanah gersang. Jika tak gersang, tentu banjir menjadi pemandangan.
Usahaku dan nenek memetik daun-daun jati atau daun pisang di ladang atau di hutan. Daun itu kemudian aku jual bersama nenek ke pasar atau pada orang-orang yang menjadi langganan harian. Selebihnya aku menjualnya ke pasar. Pada masa itu, daun jati dua puluh lembar bisa mendapat uang lima ratus rupiah yang bisa membeli kebutuhan dapur untuk lima hari. Sehari ibu dan nenekku hanya butuh uang seratus rupiah untuk kebutuhan sehari-hari.
“Mit, jika kamu tiap hari rajin mengumpulkan daun pisang dari ladang dan daun jati dari hutan, hidupmu tak akan jatuh melarat karena tak punya uang.”
Nasihat nenek masih saja terngiang di telingaku meski usianya di dalam tanah sudah mencapai tiga puluh satu tahun. Usiaku pada saat ini sudah menginjak kepala empat dengan bayi dalam rahim istriku. Statusku tiap hari dimakan waktu dengan ingatan-ingatan masa silam yang sebenarnya sangat kurindukan. Tiga anakku kuajari agar tiap bepergian membawa tas yang kuanyam sendiri dari bahan ijuk dan daun-daun menjalin yang kuat.
Istriku membuka toko aksesoris yang menjual tas dan lainnya berbahan tumbuhan. Memang, teman-teman dan para tetanggaku sedikit yang menghampiri. Tapi, bule-bule asing selalu membeli dengan permintaan yang bervariasi. Orang-orang yang kuanggap tak peduli alam ternyata anggapanku melesat. Bule-bule itu jarang membawa kantong plastik. Mereka lebih suka membawa kantong bahan rajutan dan anyaman keluargaku.
Kini, cara hidupku yang kadang kuanggap unik meski kata teman-temanku juga udik sekali karena mereka sudah tak ada yang melakukan lagi. Padahal, daun jati jika dibuat bungkus ikan, aroma ikannya tak hilang dan sedap ketika dimasak. Para tamuku selalu memuji masakan istriku. Aroma dan kelesatannya begitu terasa katanya. Ini bukan rahasia lagi sebenarnya jika mereka mau menggunakan bungkus makanan dari bahan dedaunan. Berbeda dengan zamanku saat ini yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Para tetangga dan pedagang kini sudah menggunakan plastik sebagai bungkus belanjaannya.
***
Malam semakin larut dan tenggelam di lautan sepi. Anak-anak sudah berlayar ke samudera mimpi. Gerasak-gerusuk dari bilik kamar masih kudengar dengan jelas. Tak harus kutebak. Itu bukan suara tikus yang menggerogoti gabah seperti di desa waktu aku kecil dulu. Kuhampiri istriku yang seorang diri merajut rotan-rotan pilihan dan daun-daun lentur di sekitarnya. Kulihat ada beberapa tas, keranjang, dan bahan-bahan lainnya. Aku mendekati dengan perlahan matanya tertuju padaku.
“Ada apa toh mas?”
“Sudah larut malam dek, lanjutkan besok saja.”
“Iya mas. Ini sudah tinggal beberapa rajutan lagi.”
Aku hanya menghela nafas mendengar jawabannya. Tak ada jawaban lain. Istriku selalu menyelesaikan pekerjaan rajutan berbahan dedaunan dan pepohonan. Aku hanya mengambil sebagian rotan-rotan dan daun-daun yang sudah lembek. Kuanyam perlahan di samping istriku. Hingga pikiranku membawa pada masa-masa kecil. Aku teringat dengan banjir yang sangat kusenangi.
Pada masa kecilku dulu, jika ada banjir aku dan teman-teman merasa teramat senang. Pada waktu itu, aku tak tahu banyak tentang banjir. Tapi kata guru-guruku, di kota banjir sangat ditakuti. Aku hanya terheran-heran. Aku dan teman-temanku jika ada banjir di sungai sangat gembira untuk berenang. Hitung-hitung ketika berenang dapat banyak kelapa yang terhanyut arus. Tapi tidak bagi orang perkotaan katanya. Banjir menjadi bencana besar. Aku semakin tak paham dengan hidup ini.
“Mas, mas…”
Istriku dengan suara lembut menegurku. Anyaman di tangan masih setengah jadi. Bahan rajutan dan anyaman di sekitarku sudah tak ada lagi. Aku hanya melihat-lihat tak keruan melihat bahan-bahan itu sudah tak ada sisa. Aku mempercepat tanganku agar anyaman tas daun bisa kuselesaikan.
“Iya dek. Sudah selesai ya?”
“Sudah sejak tadi mas. Ke mana saja pikiranmu kok melamun?”
“Oh, tidak. Hanya teringat masa kecilku dulu.
Istriku hanya mengulum seutas senyum dan berlalu untuk membereskan hasil bahan rajutan dan anyaman dari bahan dedaunan. Aku pun cepat menyelesaikan pekerjaanku. Lalu membantu istriku yang membereskan semua aksesoris dari hasil tangannya. Seakan tak ada resah, juga tak ada gelisah dalam perjalanan hidupku. Semuanya tampak mulus dan penuh dengan bunga-bunga yang bernektar segar.
Bebintang di langit mulai tampak begitu mengantuk. Rembulan sudah hampir tenggelam dengan model mirip senyuman indah dari bibir istriku. Aku pun mengikutinya ke alam khayal di lautan mimpi bersama sisa hidupku. Tiap malam dan tiap aku menutup mata, bayangan masa-masa kecilku selalu hadir dengan beribu keindahan yang tak kudapat kubayangkan. Seakan-akan tiap malam aku kembali pada masa kanak-kanak dengan hasil daun pisang dan jati yang kukumpulkan di ladang atau hutan bersama nenek.
Surabaya, 14 Maret 2016

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.