Tan Ko Tan

Tan Ko Tan

Oleh: Junaidi Khab*
Jurnal Nasional Tan Ko Tan Junaidi KhabKepulan asap jerami yang dibakar di sawah-sawah masih terlihat memutih memenuhi dinginnya embun di waktu pagi. Burung-burung masih belum beraktivitas. Detak-detak tetes embun di dedaunan menjadi kupingan telinga. Bagai baru usai turun hujan. Situasi musim pancaroba memang seperti itu. Musim penghujan menuju musim kemarau. Tak ada orang yang menjalankan aktivitasnya di waktu dini hari. Kecuali mereka yang kebal akan tajamnya hawa dingin musim pancaroba.
Sawah-sawah dan ladang sudah mulai bersih dari rumput liar. Kini tampak ranting-ranting pepohonan berdiri dengan ujung plastik warna putih diselimuti dinginnya pagi. Ada pula yang terdiri dari bambu dan kayu yang diraut sebagai penyanggah plastik-plastik itu. Ya, itulah tan ko tan. Peringatan bahwa rumput kelak yang tumbuh di sawah atau ladang itu tidak boleh diarit. Berbeda dengan yang tak ada tan ko tan-nya. Siapa saja boleh mengaritnya. Begitu pula dengan sawah orang tua Maimunah. Tan ko tan berjejeran di sawah dan ladangnya. Tak lain agar rumputnya tak diarit oleh orang dan para tetangganya.
Maimunah anak yang kebal dingin. Usianya berkisar sembilan tahunan. Semangatnya membara dan mengepul-ngepul bagai asap jerami di sawah-sawah. Ia tanpa lelah membantu orang tuanya. Hari-harinya dipenuhi berbagai pekerjaan ringan dan berat.
Pagi itu Maimunah bangun ketika adzan berkumandang dari corong-corong di masjid. Ketika nama-nama Tuhan diserukan ia mulai mengusap mukanya dengan air wuduk. Menerjang dinginnya air di kendi. Damar favoritnya pun dinyalakan. Segera ia melaksanakan solat subuh sendirian layaknya perempuan desa. Usai solat ia langsung menanggalkan mukenah lusuhnya karena sudah enam tahun yang lalu ia dibelikan oleh orang tuanya. Ia satu-satunya anak desa yang penurut dan rajin.
Sayup angin berdesir di telinga mulai menyentuh bulu-bulu kulit. Bunyi gemiricis arit yang diasah mulai terdengar dari arah dekat kendi air di kamar mandi ala desa itu. Ia siapkan dua sabit yang tajam untuk merumput ke sawah dan ladang yang lebat rumputnya. Berbeda dengan teman-teman kampungnya ketika akan mengarit hanya membwa peltong[1] ada pula yang menyebutnya bejut di daerah kampung halamannya. Ia menyiapkan karung goni berukuran besar yang sudah ada di dekatnya. Kembalaan ternak orang tuanya begitu cukup banyak. Empat sapi dewasa dan anaknya lima menjadi asuhannya dalam kehidupan sehari-harinya.
Jaring-jaring laba-laba di jalanan memenuhi wajah manisnya. Itu pertanda jalan itu belum pernah ada yang melewatinya semalaman. Pagi itu benar-benar dingin. Kerudung apa adanya ia gunakan sebagai penutup telinganya. Tak lain itu untuk menghalau dinginnya pagi. Rumput-rumput yang lebat hijau ia sayat dengan penuh keriangan melihat rumput yang begitu menggunduk.
Sebelum matahari menampakkan senyumnya ia sudah bisa memenuhi karung goninya. Cepat, ya cepat sekali ia mengarit rumput. Ahli, memang ahli sudah lebih lima tahun ia mulai mengarit. Berduyun-duyun pulang menggotong segoni rumput. Bahkan dari rakusnya, di mulut goninya hingga menjulur lagi rumput hijau yang diikat dari daun siwalan sebagai tali. Ia buru-buru mengarungi pagi berselimut embun yang hampir ditemani sang surya. Ia berhasil mendahului sampainya sinar matahari di daun-daun siwalan dan kelapa di dekat rumahnya. Orang tuanya yang juga mengarit merasa mendapat air salju di ubun-ubunnya. Maimunah yang rajin itu menjadi saljunya.
***
Seorang Maimunah, gadis beraut manis dan ceria penuh semangat. Mengarit rumput-rumput untuk ternak orang tuanya tiap pagi dan sore. Pagi mengarit setelah fajar mengumbarkan senyumnya. Sore mengarit ketika bayang-bayang tubuh manusia melebihi ukuran tubuhnya.
Pagi itu menjadi pakaian dan selimutnya. Bersulamkan kelamnya pagi dan dinginnya embun pagi. Kala itu ia memulai aktivitas sehari-seharinya. Mengarit rumput. Namun pagi itu berbeda dengan pagi-pagi yang lainnya. Pagi itu ia harus lebih cepat dari pagi biasanya. Sabit yang menjadi senapannya kini tak sampai membawa dua bilah. Cukup satu saja. Karung goni besar tak terlihat di sampingnya lagi. Hanya peltong yang sudah berwarna kehitaman kering lama tak dipakai mengarit.
Pagi itu ia benar-benar tak punya banyak waktu untuk mengarit. Salah satu teman kampungnya sore kemarin mengajak berkunjung ke rumah temannya yang sakit di desa seberang. Maimunah menyanggupi permintaan teman karibnya. Dinginnya pagi mulai ia terjang lagi. Namun beda dengan hari-hari biasanya. Hanya bertemankan satu sabit dan sebuah peltong. Itu pertanda ia tak akan lama-lama mengupas rumput di sawah atau di tempat dimana ada ladang bersemai rumput kehijauan itu.
Rumput-rumput hijau ia temukan. Ia arit perlahan namun pasti pada buramnya pagi berselimut embun kala itu. Ia tak bisa melihat secara jelas apa yang ada di sekitarnya. Kecuali gundukan rumput hijau. Peltong pun berhasil ia penuhi dengan rumput segar pagi itu. Pagi menjadi kejaran waktunya. Gopoh-gopoh ia langsung memanggul rumput hasil sabitannya.
Cucuran keringat dan deru nafasnya menyelimuti hidung dan mulutnya. Cucuran keringatnya bukan karena mentari yang mulai menghangatkan. Keringat itu berasal dari hawa panas deru nafasnya. Namun aneh, panasnya tak turun-turun meski keringat sudah agak mengering. Kipas dari anyaman kain dan bambu ia helaikan ke leher dan sekujur tubuhnya yang merasa kepanasan.
“Ibu, badanku panas, tolong kipasin”.
Maimunah memanggil Ni’a. Ibunya yang sedang memasak di dapur. Kipas pun ia ayunkan perlahan ke arah tubuh yang ditunjuk oleh Maimunah. Ni’a merasa kaget setelah melihat bercak merah membundar di punggung anaknya. Sedikit demi sedikit warna merah itu semakin jelas. Memerah seperti akan membengkak. Maimunah pun mengerang kepanasan.
“Nak… Tubuhmu terkena apa?”
“Tidak tahu bu, tadi setelah menaruh rumput langsung panas dan keringatan”.
“Kamu tadi mengarit dimana?”.
“Di ladang tetangga bu”.
“Apa kamu tak melihat apa ada tan ko tan-nya apa tidak?”.
“Tidak bu, tadi cuacanya gelap gulita”.
“Kamu pasti ngarit di tempat yang dilarang dan ada tan ko tan-nya”.
Kini warna merah di tubuh Maimunah makin membengkak. Perlahan-lahan melepuh. Kulitnya seperti akan hancur. Erangannya semakin menjadi setelah sebagian dari kulit Maimunah ada yang bengkak sekali. Ibunya pun gopoh-gopoh memanggil Emmat.
Di tengah erangan anaknya yang ditemani bapaknya. Lalu Ni’a berangkat ke tempat Maimunah mengarit. Ia perhatikan. Ternyata benar. Anaknya mengarit rumput yang ada tan ko tan-nya. Tepatnya ladang Sumat. Tetangganya yang juga memiliki ternak sapi lebih banyak dari miliknya. Cepat-cepat ia pulang. Rumput di peltong itu dibuang. Takut menular pada yang lain mantra yang dihembuskan oleh tan ko tan itu.
Tahu kalau anaknya terkena mantra yang ada di tan ko tan itu. Secepat angin Emmat menerjang senyuman matahari yang baru saja menyapanya. Ia menuju rumah Sumat. Meminta maaf dan meminta penangkal mantra yang ditaruh di tan ko tan ladangnya itu. Dengan mengobrol agak lama dengan penjelasan yang rinci. Akhirnya Emmat berhasil membujuk Sumat untuk mendatangi dan mengobati anaknya.
Sumat pun tiba di rumah Maimunah yang mengerang kesakitan dan kepanasan karena kulitnya membengkak dan melepuh. Sumat meminta dua puluh lima lembar daun sirih dan satu cangkir air. Permintaannya pun dipenuhi oleh Emmat. Sumat membacakan mantra pada sirih itu dan menyuruh Ni’a untuk menggilingnya hingga halus.
Gilingan daun sirih itu dicampur dengan air itu. Perlahan Ni’a mengusapkan campuran itu pada tubuh Maimunah yang sudah mulai melepuh. Erangan masih saja terdengar dari bibir Maimunah. Apalagi terkena sentuh tangan ibunya saat melulurkan campuran daun sirih itu. Campuran daun sirih itu sudah terlulur ke sekujur tubuh Maimunah. Kini ia sedikit lelap. Bengkak dan lepuhnya agak menghitam. Ia tertidur pulas.
***
Setelah beberapa jam ia terlelap. Tersentak ia bangun dari tidurnya. Di sampingnya ia melihat Ni’a, Emmat, dan Sumat warga kampungnya. Matanya yang juga bengkak sedikit melepuh dicoba untuk dibuka lebar-lebar. Memastikan orang-orang yang ada dekatnya.
“Nak, lain kali jangan mengarit rumput yang ada tan ko tan-nya”.
“Iya bu, maaf, aku tidak tahu, waktu itu gelap gulita”.
“Selain tan ko tan itu tanda larangan, juga disertai mantra oleh pemiliknya, sehingga orang yang memaksa ngarit rumputnya akan terkena kejamnya mantra itu”.
Maimunah hanya menganggukkan kepalanya. Ia mulai merasakan sakit pada pipi dan bibirnya yang agak bengkak setelah berkata dengan ibunya tadi. Nasehat-nasehat oleh Ni’a, Emmat, dan Sumat mengiringi keterbaringannya. Satu sama lain berbincang tentang tan ko tan di sawah-sawah dan ladang.
“Jika ia terlambat pengobatannya, kulitnya akan melepuh hingga hancur”.
Sembari bersilah dan mengelus-elus dagunya yang tak berjenggot. Sumat memberikan petuah penting bagi Maimunah dan keluarganya. Mendengar tuturan Sumat, bulu-bulu kuduk berdiri dan merinding. Emmat dan Ni’a hanya sekali melihat pada Sumat lalu melihat keadaan anaknya yang sedang terbaring di ranjangnya. Tatapannya penuh perhatian dan kasih sayang yang tak pernah pupus.
Tak lama kemudian Suripah datang. Ia mendengar kalau Maimunah kewalat tan ko tan ketika mengarit di ladang Sumat, pamannya sendiri. Ia mengurungkan niatnya mengajak Maimunah berkunjung ke rumah temannya yang sakit. Ia ikut prihatin dengan keadaanya. Orang tuanya dan Sumat berbincang-bincang di ranjang sebelah. Dari persoalan tan ko tan hingga perkebunan dan ternakannya. Kopi dan pisang ranum kuning juga tak luput dari obrolan akrab itu. Sementara Maimunah ditemani Suripah terbaring di kasurnya.
Bukan arit, karung goni, atau peltong lagi yang menjadi teman sehari-hari Maimunah. Tapi bantal, kasur, dan salep daun sirih yang dimintakan pada Sumat tiap hari. Salep daun sirih itu digunakan agar kulitnya itu tidak tambah parah meski keadaannya sudah agak membaik dan memar di kulitnya agar cepat mengering hingga sembuh. Hari-hari yang biasa ia habiskan bersibuk ria membantu pekerjaan orang tuanya. Namun kali ini hanya tinggal keinginan melalui lantunan suara dan deru nafasnya di atas ranjang.
Surabaya, 08 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.