PERMATA TAK BERHARGA
PERMATA TAK BERHARGA
Oleh: Daeng
Kuswiyanto*
Sampai sekarang, aku tidak bisa
menghapus jejak hikayatmu. Terlalu indah bagiku saat-saat bersamamu, aku tidak
mampu untuk melupakan semua itu, masih terpatri dalam batin. Melupakanmu adalah
problematika tersulit dalam hidup.
Sudah satu tahun.
Aku menjalani hidup
dengan rangkaian cerita yang beraneka ragam. Terkadang susah, senang, sedih, dan kadang
tertawa terbahak-bahak. Masa silam
merupakan bagian dari masaku bersamamu. Mengandung beribu serajarah pelajaran hidup, sehingga aku dapat
membedakan antara yang
baik dan buruk.
Semakin hari
hubunganku tambah mengelam, dan tumbuh berbagai macam bunga di bukit cinta. Tidak pernah ada masalah serta kendala. Bahkan bukit cintaku
tidak pernah tertimpa musim panas. Musin gugur. Tidak seperti bukit cinta
lainnya yang selalu ditimpa berbagai macam masalah.
Berbagai cara
orang melakukan sesuatu untuk memisahkan hubunganku. Bahkan pernah cara yang
sangat keji mereka lakukan. Pernah suatu ketika penyakit angin dikirimkan lewat setengah usia
malam. Aku sangat merasakannya malam itu. Untungnya tadi sehabis solat magrib, Permata—seseorang yang kucintai— kuselimuti dengan cahaya tapak jalak. Sehingga kiriman angin penyakit itu
tidak mempan, bahkan kabur bertatih-tatih.
Bagiku. Hubungan cinta yang aku jalani sudah
terlalu lama. Pada akhirnya. Dengan kesepakatan keluarga. Aku pinang Permata. Sebagai tanda
peminang, kuberikan bunga yang kupetik dari bukit cinta. Permata tersenyum
tipis tatkala menerima bunga dariku. Nafasnya perlahan dihembuskan dan
menundukkan wajahnya seperti semula, namun senyumnya masih sangat jelas
menempel di pipinya.
Malam senin usai solat magrib adalah
malam perkawinanku dengan Permata yang dilaksakan di rumah calon
istriku. Malam semakin larut. Kelelawar simpang siur di udara, mencabik-cabik
cadar malam. Tidak terasa, ternyata malam sudah hampir setengah
usia. Jam telah menunjukkan pukul 11:45. Rumah Permata sudah mulai
sepi dan benar- benar sepi. Hanya tinggal kedua mertuaku di luar.
***
Dua tahun sudah perkawinanku berjalan. Alhamdulillah aku dikaruniai buah hati.
Lalu kuberi nama Fajri Andika. Keluargaku tampak semakin ramai tawa meledak hampir
di setiap sudut rumah. Sungguh lucu anakku. Alhamdulillah tidak mirip dengan bapaknya.
Bapaknya seperti belah ketupat. Untung sekali. Setiap hari keluargaku bahagia
tidak ada perselisihan, kalaupun ada pasti salah satu mengalah.
Kebahagian masih di keluargaku. Meski hidupku hanya cukup untuk makan, tapi
bagi kita tidak jadi masalah. Selama tawa ada, harta ada di
bawah. Bahkan suatu ketika ada tetangga yang datang padaku hanya minta resep
untuk kebahagiaan keluarganya. Pak Sufyan namanya. Aku jelaskan panjang
lebar pada beliau. Beliau manggut-manggut kepalanya. Aku paparkan contoh
sang penyingkir kegelapan Nabi Muhammad SAW.
Hari demi hari kehidupan keluargaku tidak ada peningkatan penghasilan masih
cukup untuk dimakan. Setelah beli susu untuk Fajri Andika. Uangnya sudah tidak ada.
Memang penghasilanku tidak seberapa. Maklum hanya sebagai guru Ibtidayaiyah.
Permata setiap hari hanya mengurus anak dan rumah. Memang Permata tidak kuperbolehkan untuk
bekerja. Meski beberapa kali ia memaksaku tetap mau bekerja.
Beberapa bulan belakangan ini. Permata tampak berubah. Biasanya kalau aku datang mengajar sudah siap
secangkir kopi di meja begitu pun dengan sarapan. Tapi entah kenapa, akhir-akhir ini Permata tidak seperti itu lagi.
Bahkan acuh
tak acuh padaku. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Namun
kubuang jauh-jauh rasa curiga yang ada di hati. Seringkali aku bertanya pada Permata. Namun
jawabannya hanya satu yaitu “Tidak apa-apa”, hari demi hari keluargaku seperti
itu. seakan bunga yang tumbuh di bukit cintaya. Sudah mulai layu. Entah apa
penyebabnya. Aku paling tidak suka tingkah laku Permata yang sering
keluar rumah siang dan malam, seringkali Fajri Andika dititipkan pada tetangga.
Malam senin sehabis isyak. Aku pamit pada Permata istriku untuk menghadiri
rapat di madrasah. Tanpa ada jawaban iya dan tidak. Permata diam bahkan
seakan tidak mau menatapku.
Rasa sedikit kecewa menghampiriku. Tatkala sampai di madrasah ternyata rapat
ditunda besok malam. Berbagai alasan diberikan padaku. Terpaksa dengan sedikit hati kecewa aku
pulang. Malam yang gelap. Bintang gemintang berkelap-kelip di angkasa. Menjelang setengah jam rumah yang sudah mendarah
daging dengan sepasang mataku. Sudah tampak jelas. Namun entah
kenapa rumah yang tidak biasa petang. Malam ini kelihatan petang meyelimutinya,
lampu-lampu sudah mati.
“Ada apa ini?” gerangku dalam hati.
Perlahan kubuka
pintu rumah yang gelap. Langkahku. Kuasah seperti angin supaya kedatanganku
tidak ada yang tahu. Aku hanya ingin memastikan apa yang terjadi di rumahku.
Sesampai di depan pintu kamarku dengan bisik-bisik suara dari balik pintu.
Hatiku terbakar mendengarnya. Dengan emosi yang sudah memuncakku buka pintu
kamar. Sepasang mataku sangat jelas mengkap tontonan asmara Permata entah dengan siapa. Tatkala
melihatku kedua terkejut wajahnya mumutih sepeti tidak ada darahnya. Dengan
cepat lelaki itu melompat ke jendela belakang. Tinggallah Permata
seorang diri di atas kasur yang masih telanjang
bulat.
Air mata
yang menetes dari sepasang mataku menjadi saksi kekecewaanku yang amat
sangat besar pada Permata. Aku balikkan badan berlari manjauh dari daun pintu kamar yang masih menganga. Sempat terlihat dari ekor mataku, Permata mengejarku. Namun aku lari semakin kencang seperti rasa kecewaku
padanya. Entahlah aku mau kemana malam ini.
“Kamu bukan lagi Permataku. Sudah tidak ada nilai
harganya bagiku. Kamu
Permata yang hina.”
Tidak ada komentar: