PENUNGGU EMAIL



PENUNGGU EMAIL
Oleh: Daeng Kuswiyanto

Setiap malam jum’at tepatnya pukul 24.00 WIB keatas, Andi selalu membuka Emailnya. Entah surat kabar dari siapa yang ia tunggu. Aku yang satu kamar denganya saja merasa bosan melihatnya yang selalu duduk termenung hingga larut pagi di depan laptopnya.      
Sepertinya, memang  ada hal spesial yang ia tunggu dalam kotak masuk Emailnya itu. Aku pun tidak bertanya tentang penungguannya yang tidak jelas itu. Ia hanya tersenyum ketika aku memandanginya. Mau bertanya pun merasa enggan karena takut dikira aku kepo.
Semenjak Andi belajar menulis karya sastra berupa cerpen, ia mengalami perubahan yang sangat aneh. Seperti orang yang kesurupan gitu. Kadang ia tersenyum memandang sesuatu, tapi entah sesuatu apa yang ia pandang.
Tak jarang aku selalu bercerita kepada teman-teman mengenai kejadian yang terjadi pada diri Andi akhir-akhir ini. Aku hanya takut terjadi sesuatu pada teman dari masa kecilku ini apalagi sebelum merantau ke Jogja dalam berjihad mencari ilmu. Kedua orang tuanya berpesan padaku untuk selalu bersama-sama, baik dalam suka maupun duka.
“Emangnya Andi belajar menulis karya sastra sama siapa bro?, cerita dong kali aja kita bisa bantu. Ya nggak teman-teman ?”, tiba-tiba Bobi melontarkan pertanyaan dan mengajak teman-teman yang lain untuk membantu.
“Ya cerita dong bro.” pinta Jalil.
Melihat teman-teman yang bersemangat membuat gairah berceritaku mengenai Andi bangkit kembali.
“Cerita singkatnya begini bro. Tepatnya hari senin lalu, Andi bertemu seorang kakek tua yang berambut gondrong sedang membaca sebuah buku. Kelihatannya saat itu, Andi sangat asyik ngobrol dengannya. Entah apa yang mereka bicarakan. Soalnya waktu itu aku juga kurang memperhatikan mereka karena sedang asyik ngobrol dengan Dewi. Nah, ketika kita pulang di tangan Andi sudah terpegang buku yang tadinya dibaca oleh kakek tua itu dan aku sempat bertanya dalam perjalanan menuju kontrakan pada Andi.”
“Kakek yang tadi itu siapa An ?”. Bukannya dijawab dia malah tersenyum saat melihatku.
“Jangan-jangan kakek itu…, kakek cangkul bro.” Tiba-tiba Bobi menegangkan suasana.
“Otakmu benar-benar otak horor Bob”, kata Jalil.
“Sudah… sudah, ayo kita bubar sebentar lagi masuk. Dari pada nanti omongan kita ngelantur seperti Bobi”. Mendengar perkataanku, semua tertawa sambil menepuk punggung Bobi yang lumayan gendut.
Percakapan pun usai. Masing-masing dari kita masuk dalam kelas. Namun, dalam otakku selalu kepikiran perkataan Bobi yang menganggap kakek tua itu sebagai kakek cangkul. Membuat bulu kudukku berdiri dan merasa takut. Ah, sudahlah kakek cangkul hanya ada di dalam film saja.
Hari yang semakin larut. Tanpa terasa sudah menunjukkan pukul 02.10 WIB, hujan belum reda dan listrik juga belum menyala dari pagi sedangkan baterai HP sudah melemah. Apes deh.
@@@@@
Malam yang menangis, mengigilkan tubuh, membasahkan baju, serta aliran airnya menembus genteng kamarku. Tubuhku merasa sedikit kedinginan, lantaran dari kampus menembus deraian hujan tanpa mengenakan jas hujan. Sudah hampir dua minggu Jogja selalu diguyur hujan siang dan malam. Mematikan suasana hati untuk melancarkan duskusi di warung kopi. Apalagi sekarang sudah ada warung kopi Basabasi yang memang sangat tepat untuk dijadikan tempat diskusi dan mengisi hati. Aku sendiri juga belum pernah mencobanya, tapi mendengar cerita dari teman-teman katanya enak sekali untuk dijadikan tempat nongkrong dalam menata imajinasi.
Malam semakin bertambah usia. Rasa dingin membara menggila. Membungkus tubuh, serta mampu mengatupkan gigi. Kopi pun tak ada, yang biasa menemaniku setiap malam. Semua toko di depan kontrakan sudah tutup karena hujan tak kunjung reda.
Dalam kesepian diri, tiba-tiba tumbuh rasa penasaran dan keingintahuan, tentang kejadian aneh yang terjadi pada Andi. Namun, hati masih belum memiliki keberanian untuk menyusun berbagai macam pertanyaan. Mulut pun terkunci seakan tak mampu untuk bertutur sepatah kata pun.
            Melalui perdebatan batin, kemudian kuambil kesimpulan untuk membangkitkan keberanian dan bertanya padanya meskipun nantinya dianggap kepo. Dari pada memendam rasa penasaran yang selalu menghujam diri.
            “An, aku boleh bertanya nggak.?” Pertanyaanku singkat. Tiba-tiba Andi menjawab.
            “Silahkan Fan. Emangnya kamu mau nanya apa?”, tanya Andi.
            “Maaf sebelumnya An. Aku merasa akhir-akhir ini, semenjak kamu belajar menulis karya sastra pada kakek tua itu. Kamu lebih banyak diam dan tersenyum seperti orang gila. Entah kamu tersenyum pada siapa, tapi yang jelas aku merasa telah terjadi sesuatu yang aneh pada dirimu An”.
            “Hahaha”, Andi tertawa mendengar perkataanku.
            “Kenapa ketawa An?.
            “masa sih kayak orang gila?”, Andi kembali bertanya.
            “Ya iyalah, gimana aku tidak menganggap kamu seperti orang gila sementara kamu selalu tersenyum dan tertawa sendiri di kamar, bahkan aku sempat curiga kalau kamu telah kerasakukan setan An.”
            “Aku juga merasa seperti itu, terkadang aku juga berpikir mungkin aku memang sudah gila. Aku sadar jika kadang-kadang tersenyum sendiri bahkan aku juga merasa bahwa nantinya kau akan menganggapku gila karena sering senyum-senyum sendiri. Tapi sungguh, aku tersenyum pada imajinasiku yang mampu merangkai kata-kata indah walaupun kata indah itu hanya menurutku. Kamu belum pernah baca karyaku kan Fan, kapan-kapan baca ya ?, hehe….”. Katanya sambil tertawa kecil padaku.
            Mendengar jawaban yang lumayan panjang dari Andi, aku hanya dapat menghembuskan nafas perlahan dan menggelengkan kepala. Ternyata Andi sangat menikmati dalam menata imajinasinya. Aku jadi lega karena ternyata Andi tidak kerasukan.
            “Oh gitu ya… Tapi ada lagi yang membuatku bertanya-tanya, kenapa setiap malam Jum’at kamu sering duduk termenung di depan laptop sambil melihat kotak masuk Emailmu An ?”. Mungkin ini pertanyaan terakhirku padannya.
            “Sebenarnya aku sedang menunggu sesuatu, sesuatu yang sangat spesial masuk di Emailku Fan. Sesuatu itu adalah pemberitahuan dari koran media Minggu Pagi yang menyatakan bahwa karyaku telah dimuat. Sudah dua bulan ini, tetapi karyaku belum juga dimuat Fan. Maka dari itu, setiap malam jum’at aku selalu duduk termenung dengan ditemani sejuta harapan”.
            Hatiku tersentuh oleh jawaban Andi yang disertai semangatnya dalam berkarya, tiba-tiba wajahnya ditekuk dan cemberut. Aku merasa bersalah telah menyakan hal itu padanya.
            “Bersabarlah dan jangan pernah putus asa dalam berkarya. Teruslah berjuang dan gapailah cita-citamu. Aku yakin karyamu akan segera di muat ke media massa. Ya sudah, aku istirahat duluan dan maaf ya An telah kepo”,  Andi hanya mengangukkan kepalanya.
            Tubuhku seakan diremas-remas hawa dingin, tulangku remuk, dan darah pun seakan telah  membeku. Rasa kantuk sudah tidak bisa ditahan lagi. Perlahan dunia penglihatan kecilku tertutup tirai kehidupan, hingga tenggelam dalam dinginnya malam.
           





Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.