CERPEN "ANGKHES BUDAYA PULAU GILIYANG"



ANGKHES[1]
Oleh: Daeng Kuswiyanto
            Bercak sinar matahari mulai menyinari dunia serta menampakkan diri dari ufuk timur. kecauan burung kojuk bercekcokan di atas pohon depan rumah. Kini malam benar-benar telah terbunuh, gaun gelapnya di sulam kembali menjadi cerah, terlahir pagi. Semilir angin pagi menyepoi-nyepoi tubuh dari sela jendela yang masih menganga. Embun cantik bak keristal masih setia memeluk dedaunan, namun tidak akan lama lagi, embun akan mencair bagai sungai mengalir, lantaran sinar kejam yang  menusuk dan membunuhnya.
Pukul 05:00 pagi telah kulihat tumpukan dedaunan, ranting serta ganggang pohon menumpuk bak gunung di depan rumah Sahmo. Dengan semangat, ia menumpuk duan dan ganggang itu sendirian, entah mulai pukul berapa ia melakukannya, mungkin saja ia tidak tidur semalam. Keringat membanjiri tubuh mungil kulit hitamnya. Namun Sahmo tidak menghiraukannya biarpun panas menyetubuhinya, ia tetap tidak putus asa  serta tidak akan mundur sebelum misinya terselesaikan. Itulah Sahmo yang tidak pantang menyerah untuk menafkahi keluarganya.
            Sa’ami adalah wanita separuh baya, menjalani hidupnya sudah hampir setengah abad dengan Sahmo, sebagai istri yang soleha, ia tidak pernah mengeluh walau keadaan perekonomiannya hanya pas untuk dimakan setiap harinya. Ia setiap harinya beraktifitas sebagainya petani, disamping sebagai petani, ia mencari penghasilan tambahan dengan menjual nasi sekkol [2]dan tacin koning [3]di pagi hari. Melihat Sahmo sang suami tercinta sibuk dengan pekerjaannya, ia langsung kedapur membuat setermos kopi untuknya.
            Giliyang adalah pulau mungil yang bermata intan biru lautan. Di pulau inilah Sahmo dan Sa’ami melanjutkan usia dan masa hidupnya, tepatnya di desa Bancmara ares laok. Pulau ini besarnya hanya seperti jari tatkalah di lihat dari dungkek. Dan mayoritas masyarakat yang hidup di pulau ini semuanya melaut dan menghabiskan sisanya hidupnya pun dengan laut. Bahkan hidup dan matinya tergantung pada hasil laut, itulah Giliyang.
            Bagi masyarakat Giliyang angkhes adalah salah satu cara atau metode untuk memperoleh ikan yang banyak tatkalah melaut nantinya. Angkhes adalah tumpukan berbagai daun, ganggang, reranting dan bahkan batu yang di jadikan pemberat supaya daun dan ganggang sampai di dasar laut yang dalam. Angkhes juga merupakan tradisi dari nenek moyang, untuk mendapat penangkapan ikan yang banyak. Angkhes merupan suatu carah yang sangat ampuh untuk mendapatkan ikan dan menjadi senjata dahsyat bagi masyarakat giliyang. Angkhes juga bisa diartikan sebagai pembuatan rumah ikan yang bagus, supaya para ikan berkumpul dan menetap di dalamnya.
            Angkhes ada tiga macam, yang pertama tingkat dasar, tengah dan paling dalam. Maksud dari tiga itu. Angkhes dasar adalah angkhes yang tempat penaruhannya di puleken. Angkhes tengah adalah angkhes yang di posisikan di tengah laut yang memiliki kedalaman yang lumayan dalam, sedangkan angkhes paling ujung/ dalam adalah angkhes yang taruh  di tempat di tempat yang terdalam dilautan. Tiga macam angkhes itu dalam perolehannya pun tentunya berbeda dari segi tingkat kualitas ikannya.
            Jam menunjukkan pukul delapan lewat lima belas menit, Sahmo masih sibuk dengan alat angkhesnya yang belum kelar. Entah membutuhkan beberapa jam lagi. Tiba-tiba Sannawi datang dan membatunya, sambil menyumbangkan tiga rencing[4] dedaunan dan tiga tale [5]ganggang. Tanpa banyak basa basi Sannawi langsung mengangkat tumpukan alat angkhes di masukkan pada gelinding[6] yang sudah siap untuk mengangkutnya.
            Tanpa terasa di sekitar Sahmo yang tengah sibuk dengan pekerjaannya, sudah banyak tetangga yang berdatangan membantunya. Melihat kawan-kawannya yang berdatangan, Sahmo hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Tumpukan daun, ganggang yang menggunung di depan rumahnya, kini berpindah tempat, semuanya atompok[7] di atas gelinding.
            Saat ini target Samho adalah angkhes yang paling ujung/dalam tentu peralatannya dan pembuatan memakan waktu lama, sudah tentu pasti tujuannya untuk mendapatkan ikan yang berkualitas bagus. Dan alat yang harus di sediakan pun tentunya lebih banyak dan kuat.
Ning[8], gimana sudah mau di angkut apa belom,?” tanya Sannawi pada Sahmo.
“Iya, tapi tunggu sebentar lagi, nanti kalau jam pas pukul dua belas, baru kita angkut.” Jawab Sahmo.
            Mendengar jawaban Sahmo, Sannawi hanyan menganggukkan kepalaya, serta duduk di depan teras sembari minum secangkir kopi.
            Bagi masyarakat Giliyang untuk mengangkut angkhes harus tepat pada waktunya, begitupun dalam pembuatannya, serta tidak sembarangan. Sebab bila tidak tepat pada waktunya, bisa-bisa nanti angkhesnya hanya menjadi tempat ikan, tapi ikannya tidak makan pada umpan. Masyarakat giliyang masih kokoh dengan tradisi nenek moyang yang mempercayai parempun[9]. Dan sudah banyak buktinya. Jika dalam pembuatan angkhes asal-asalan, maka hasilnya tidak seberapa dan bahkan terkadang sedikit ikan yang menempatinya. Bagi masyarakat giliyang parempun masih menjadi kepercayaanya sampai sekarang.
            Bukan hanya dalam pembuatan angkhes yang butuh parempun, akan tetapi mau keluar rumah pun masyarakat giliyang harus melihat parempun, takutnya dalam perjalanan nanti ketepatan pada buko mate[10]. Inti dari masrakat Giliyang semua orangnya sanagat tengate[11] dalam menjalani hidup.
            Waktu terus beranjak, sedangkan siang sudah lanjut usia. Sinar matahari semankin panas menyengat  punggung petani dan para nelayang yang masih ada di tengah laut. Seiring dengan bergantinya waktu, ternyata jam telah menunjukkan pukul sebelas lima puluh lima, berarti lima menit lagi angkhesnya Sahmo akan di angkut. Semuanya sudah mempersiap diri untuk membatu mengangkut ke laut.
“Nanti sebelum berangkat pas pukul dua belas, semuanya jangan lupa harus baca bismillah dan solawat tiga kali.” Pinta Sahmo pada semua kawan-kawannya. “Jangan lupa ya,” Lanjut Sahmo.
            Jarum jam pas pukul dua belas siang. Hingga semuanya beranjak semakin jau dari rumah Sahmo dan membawa alat angkhes yang telah di sediakan Sahmo mulai tadi malam. Dalam perjalanan tak henti-henti Sahmo berkomat kamit entah apa yang di bacanya. Menjelang beberapa menit nyanyiian gelombang sudah mulai terdengar dikembang telinga. Bau bilambi[12]pun mulai menyengat sepasang lubang hidung.
            Beliker[13] yang berserakan di hamparan potampoan[14]terhenpas desir golombang. Jeng anjeng[15]pun berkeliaran keluar dari dalam sarangnya untuk menikmati hamburan pasir dan bercak gelombang kecil. Begitupun dengan rotos[16], bagai jajaran pohong tumbang keluar dari lubangnya menikmati bu’bu’[17] yang di taburkan oleh salah satu teman Sahmo.
            Desir angin pantai mendesis disekujur tubuh menyapa kesejukan di siang hari. Dua sampan sudah ada di depan mata yang siap mengangkut alat angkhes yang menggunung itu. Perlahan mulai di naikkan ke atas sampan dan terlihat seperti gunung aktif ditas sampan. Tiga puluh menit kemudian, dua sampan sudah penuh. Kemudian dari salah satu temannya Sahmo mulai abetangi[18] sampan untuk melaju ke pedalaman, hingga nanti mesin di nyalakan.
            Dari potampoan, dua sampan yang melaju cepat sudah hilang di sepasang mata. Satu hari lagi dua sampan itu akan kembali, dan sekitar dua atau tiga bulan lagi, sampan itu akan berangkat lagi untuk memanin hasil ikan yang menempati di angkhesnya.
            Kesabaran adalah kunci kesuksesan dan kunci bagi segala pintu keberhasilan, seperti Sahmo nantinya yang memanin hasil dari kesabaran, menunggu dalam dua bulan untuk dua puluh tahun kedepan, bersabarlah makan engkau akan menikmati hasil proses dari kesabaranmu sendiri.
alhamdulillah. Akhirnya, aku dapat menikmati hasil angkhes serta lebih mampuh memberi nafka pada keluarga” gerang Sahmo dalam hatinya sambil sujud syukur kepada Sang Maha Pencipta.

           


[1] Angkhes adalah cara untuk membuat rumah ikan dilaut( tempat ikan). ( B. Madura)
[2] Bumbu untuk nasi yang dijual pagi hari di pulau Giliyang yang terbuat dari kelapa
[3] Bubur yang terbuat dari beras yang telah di campur dengan pewarna
[4] Sebutan keranjang bagi masyarakat Giliyang
[5] Sebutan tali bagi masyarakat Giliyang
[6] gerobak
[7] berkumpul
[8] Sebutan atau panggilan ataupun juga bisa anggap sebagai gelar, tapi entahlah dari mana asal usul pangilan itu. tapi yang jelas bukan ning seperti sebutan orang surabaya pada seorang perempuan.
[9] Kitab peramalan
[10] Hari naasnya
[11] teliti
[12] Rumput laut
[13] krikir
[14] Pesisir pantai
[15] Kepiting yang hidup dipesisir dan menjadi permainan bagi anak keccil
[16] Cacing laut yang gunakan sebagai umpan ikan
[17] Bahan paling halus dari jagung
[18] Mendorong sampai dengan bambu

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.