MENJEMPUT LUKA, LUKAKU YANG KE DUA
MENJEMPUT LUKA, LUKAKU YANG KE DUA
Oleh: Daeng Kuswiyanto
‘’ cintailah kekasihmu secara sedang-sedang
saja, siapa tahu disuatu hari nanti dia menjadi musuhmu;dan bencilah orang yang
kamu benci secara biasa-biasa saja, siapa tahu pada suatu hari nanti dia menjadi
kecintaanmu’’(Riwayat turmidzi)
“Sudahlah, tak usah kau jelaskan lagi tentang
perasaanmu. Aku sudah tahu bahwa kamu tidak akan pernah membuka hatimu
untukku.”, kata sahid pada nia. Seraya menundukkan kepalanya.
Salju
yang menetes dari sepasang matanya membentuk bola kristal, saat percakapan
cinta terulang kembali seharian full. Entah malaikat dan setan yang mana
menyuruh untuk mengungkapkan kata cinta lagi. Padahal sudah jelas dari kemarin
hatinya tertutup untuknya. Sahid memng gila padanya dan terpikat rasa yang
sangat amat. Merenung adalah kelakuannya setelah pembalikan tangan Nia di
lentangkan.Kata ikrar darinya sangat membuat sakit dalam dekap senyum.
Di
atas tembok Jihad kata, pengok dekat rel. sahid kehilangan kata untuk merakit
menjadi puisi, semua hilang tanpa sebab, hanya sebatas isyarat senyum luka di
sugukan pada dunia yang kepanasan. Duduk bungkam dalam kesepian. Suara mati.
Otot lendur. Semua para penghuni dalam
tubuhnya seakan mati suri. Entahlah apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
Selama
ini, untuk mendapatkan pujaan hati hanya sebatas harapan, untuk menggenggamnya,
harapan itu telah berlayar jauh. Dari pembalikan tangan yang pertama, dalam
hatinya ia mempunyai inisiatif bahwa akan mendapatkan kesempatan yang kedua,
dan di kesempatan kedua ini Sahid akan di terima, Namun inisiatif itu salah
serta keliru besar. Ternyata terulang kembali Sahid sakit hati.
Silau
rasanya bila mengingat history yang terdampar lagi dalam hati sahid. gelombang
di dada semakin besar menggulung batin dan meremukkan hasratnya. Pasir kecil
cantik yang memutih bertaburan terhampar kedaratan. Karang tergoyah, ikan
berlarian, dan rumput laut patah dari ganggang. Laut sahid sakit hati kedua
kali.
Ternyata
idaman hatinya telah hilang bersama penghujung siang, sedangkan bayangnya
selalu mengintai di setiap celah lara hati. Tak ada yang terlupakan dalam jiwa,
baik senyum, tigkah lakukannya apalagi tutur kata yang melenggak lenggok di
setiap ruas hati sahid. sungguh nia adalah gadis yang sangat mempesona dari
segala bidang apapun. Jangan di tanya cantik apa tidak, sudah sangat jelas dari
segi nama saja membuat para lelaki menganggut tak karuan bila melihatnya.
Bergetarlah
dunia jika suarnya sempat belayar mengitari jagad yang terlantang dari mulut
manis bak madu itu. Dunia yang sakit seketikah sembuh saat lantunan ayat suci
di layarkan pada seluruh jagad. Daun yang kering kembali menghijau , seperti
baru tersirami air mata tuhan. Daun yang
masih melekat pada rantingnya gugur pula melayang ke tempat suara nia terlantunkan.
Bayangkan sesuatu yang tidak mempunyai rasa mencari keberadaannya. Apalagi
sahid sebagai manusia biasa, sudah tentu pasti sangat tergila-gila. sunguh
dengan kecantikan yang ia punyak membuat semua bangkit dari kematian. Heemz
nia, nia.
‘’ Sahid kenapa ya .? tidak seperti biasa merenung seperti itu. ‘’
kata agus pada kanjeng.
‘’ Aku tidak tau juga kak ‘’ timpal kanjeng
pada agus.
‘’ apakah punya masalah dalam
keluarganya jeng.? ‘’ tanya agus.
‘’ entahlah kak, aku juga tidak tau.’’
‘’ aku tidak apa-apa kok, tenang saja kawan. ‘’
tiba-tiba sahid menjawab dan meluskan rasa penasaran yang bersemayam dalam hati
agus dan kanjeng.
‘’ syuurlah kalau begitu hid, kalau misalkan
punya masalah cerita biar bebanya cepat hilang, kan iya jeng.? ‘’ timpal Agus.
Sahid
hanya menganggukkan kepala pada kedua temannya yang tengah berdiri di belakang ‘’
maaf kawan, kalau masalah yang satu ini,
aku tidak dapat menceritakannya pada kalian.’’ Gerang sahid dalam hatinya.
Terlihat kedua temannya masuk lagi ke dalam kamar masing-masing. Kanjeng
kembali membaca buku sastra karangan
rendra, sedangkan agus duskusi lagi dengan kawan S2nya. Kembalilah sahid
merasakan kesepian yang mencekan batinya begitu dahsyat dan kejam. Sakit hati
yang di rasakannya saat ini mampuh membutahkan sepasang mata.
Di
tengah kerumunan suara yang bergemuruh di amper kontrakannya. Membuat sahid
mengerti betapa indahnya kebahagian. Namun Sahid tidak ikut bergambung dengan
temannya didalam, ia hanya menikmati sepi seorang diri. Dirinya memang tidak
ingin rasa sepi yang di lahapnya juga di nikmati oleh orang lain, apalagi teman
karibnya sendiri. Sebenarnya rasa dalam hatinya juga berkata, bahwa ia juga
ingin bergabung dengan temannya untuk memerianhkan canda dan tawa yang tengah
menjadi-jadi. Namun hatinya tidak kuat bila melihat senyum dari kawannya
mengguyur tubuhnya, sedangkan dirinya seakan tidak kuasa untuk membalasnya,
rasa sakit masih mencekamnya.
Entahlah
sudah berapa jam sahid duduk merenung di atas tembok itu, masih dengan posisi
yang sama dan kepalanya tetap merunduk ke bawah. Perlahan sahid menghembuskan
nafasnya. Menyandarkan tubuhnya ke balkon di belakangnya.
Bagi
Sahid hari ini adalah hari yang membentuk tembok besar untuk membuat hatinya
lebih kuat dari serangan lawan. Walau saat ini tembok itu masih tidak
berfungsi, namun kedepannya tembok itu akan menjadi penghalang dari segala
bahaya dan pelindung bagi orang sedunia.
Tidak
terasa jam telah menunjukkan pukul dua lima belas menit. Dari waktu ke waktu
nuansa di sekitarnya semuanya sama baginya, sepi, sunyi dan sakit. Mendung
dalam dirinya membuat Sahid lupa waktu, bahkan hampir melalaikan kewajibannya
sebagai umat nabi ahirruzzaman. ’’Masyaallah aku belum solat duhur’’
gerangnnya dalam hatinya. Hati yang baru saja mendapat siraman cahaya dari
tuhan. Sahid langsung beranjak sambil mengusap sisa air yang mengalir dari
sepasang matanya.
‘’ kamu sudah solat hid ‘’ tanya Agus pada
Sahid
‘’ hehe, baru mau kekamar mandi kak ‘’ jawab
Sahid sambil melangkahkan kakinya ke kamar mandi sebelah.
Telah hilang tubuh Sahid di balik
pintu menuju kamar mandi. bercak air berjatuhan di atas krikil batu sebagai
penampung jalan air melimbah. Menjelang beberapa menit sahid tersipu di atas
sejadah yang ia kenakan, matanya yang bening, kini lembab kembali, satu persatu
kristalpun menites dari sepasang matanya itu. Perlahan kedua tangannya di
angkat setinggi dagu.
‘’ Ya..allah..jika memang hambamu ini tidak
kuasa untuk mendapatkannya, maka tunjukkanlah padaku jalan menuju rumahmu, dan
pertemukanlah aku dengan gadis yang ku cintai di duniamu. Ya allah..hambamu
naif di depanmu, tidak sepantasnya hambamu ini mengeluh tentang cinta yang
tidak di ristuimu. Ya allah alirkanlah cahayamu pada mukaku, agar semua orang
melihatnya merasa terpaku kepadaku.Amin’’.
Banjir
bumi wajahnya yang berkulit sawo matang. Bermuarah dari sepasang matanya dan
berhenti di sudut permukiman di atas yang ia kenakan. Entahlah mungkin terlalu
sakit hati Sahid untuk saat ini. Sahid bukanlah lelaki yang cenging dan bukan
pula pengucut. Entahlah betapa besar rasa sakit yang ia rasakan saat ini,
sehingga air yang mengalir tidak henti-henti. Akan terkuras habis sungai yang
ada dalam jiwa Sahid. semoga saja rumput di pinggir kalinya semakin subur. Amiin.
*Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, kini aktif di komunitas sastara Rudal dan Komunitas Tulis Al-Jihad Yogyakarta.
Tidak ada komentar: