JALAN PULANG
JALAN PULANG
Oleh: Junaidi Khab*
Brodin tampak begitu lesu usai perjalanan
seharian di atas pesawat terbang. Tubuhnya tergolek di atas dipan tua.
Rumah sederhana yang ditempati sudah menjauhkan dia dari sanak
familinya. Perasaannya gundah gulana. Pikirannya terbang kemana-mana.
Tubuhnya hanya tampak terbaring di atas dipan tempat dia akan menjalani
profesi sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Tapi roh
dan jiwanya berontak saat anak dalam kandungan istrinya membayangi kesendiriannya.
Bagasi dan kopor-kopor besar yang berada
di pojokan gubuk murah itu didekati dengan penuh kegirangan. Di dalam
kopor besar itu Brodin memungut sisa roti dan sebotol minuman air
mineral. Sebongkah roti dilahap dengan diselingi menenggak sebotol air.
Tubuhnya kembali bugar sejenak. Lalu dia membaringkan lagi tubuhnya di
atas dipan kayu jati.
Di sela-sela rasa letihnya yang terus
menemani jiwanya, Brodin tetap berusaha mengompori semangatnya. Bagasi
dan kopor-kopor yang berisi berbagai peralatan dan kebutuhan hidup mulai
dari baju, sarung, celana, kopiah, dan sandal ditata dengan rapi di rak
kecil sisa penghuni gubuk sebelumnya. Ruangan sempit yang ditempatinya
tampak bagaikan surga mungil yang diberikan oleh Tuhan pada dirinya.
Rapi dan tanpa sampah yang selalu berseliwiran sana-sini.
***
Waktu terus berjalan mengantarkan Brodin
pada ruang dan waktu yang semakin menjadikan dirinya tua dan mengenal
banyak teman-teman kerjanya di negeri orang. Hari itu Brodin tidak
bekerja seperti teman-teman TKI lainnya. Dia sengaja mengurung diri
dalam gubuk sewaannya. Hari itu bahagia tampak menemani kesendirian yang
bercerita tentang negeri orang itu.
Matahari di ufuk timur makin lama makin
meninggi menampakkan senyumnya yang selalu mengiris-iris kulit. Di
sela-sela Brodin tak ada kerjaan, dia merapikan tempat-tempat yang
semrawut, saat itu pula perutnya mulai memanggil dan meronta-ronta
kelaparan. Dia mengambil wajan yang berada di rak tempat peralatan
memasak. Dia pula memungut periuk nasi untuk memasak beras yang dibawa
dari Indonesia. Di hadapannya sudah bertiduran alat-alat memasak khas
negeri orang.
Di saat wajan terbaring di atas kompor,
di kala periuk berisi beberapa takaran beras bertiduran di atas lantai.
Tak terasa, air mata Brodin menganak sungai dari tepi-tepi matanya.
Tubuhnya yang gagah tak lagi mampu membendung derasnya air mata yang
mengalir di celah-celah pipinya. Dadanya terguncang. Perasannya bagai
teriris sembilu lalu diperciki air garam. Dia baru tersadar, memasak
tidak mudah. Dia teringat istrinya di rumah. Batinnya bergejolak. Dia
merasa banyak salah pada istrinya yang selalu menyiapkan makanan dengan
sepenuh hatinya di kala pagi menyapa dan di kala sore membentangkan
sayap-sayap senjanya.
Brodin berusaha menghapus titik air
matanya yang mulai mengering di pipinya yang kecoklatan. Tak lama
setelah air matanya mengering, dia mendengar gerasak-gerusuk petugas
keamanan negeri rantaunya yang sedang piket memeriksa surat-surat TKI.
Brodin pun tergopoh-gopoh masuk ke bawah tempat tidurnya. Detak
jantungnya bak usai dikejar singa di hutan. Brodin tak punya surat-surat
resmi. Dia hanya memegang kartu penduduk. Paspor tak dimilikinya. Dia
menjadi TKI ilegal melalui perantara toke.
Dia sebenarnya menyadari, menjadi TKI
ilegal tidak dibenarkan dan menjadi ancaman bagi dirinya karena tidak
akan mendapat jaminan hukum ketika terjadi masalah di negeri orang.
Namaun, apa boleh buat, biaya yang sangat mahal dan rumitnya
administrasi menyeret Brodin menjadi TKI ilegal. Lambat laun, suara
petugas keamanan menyusut, makin lama makin menjauh dan menepi ke
gang-gang rumah di depan gubuk Brodin. Dengan beringsut keluar dari
tempat persembunyiannya, tiba-tiba Brodin ada yang memanggil dari
belakang.
“Hei, kau!” suara petugas itu menggetarkan hati Brodin.
“Maaf, Pak…” Dengan tangan menyembah, Brodin berlutut di depan petugas.
“Mana surat-surat dan paspormu?” bentak petugas menanayak kartu identitas.
Keguncangan dalam jiwa Brodin semakin
menjadi-jadi. Dia bagaikan telanjang di negeri seberang. Brodin digiring
ke rumah tahanan (rutan) bersama para TKI ilegal. Segerombol orang
berkerumun dan berbincang-bincang tentang nasibnya. Brodin hanya terdiam
seribu bahasa. Duduk menjongkok di pojokan. Matanya tampak bagaikan
kaca yang berair di bawah sinar kehidupan yang kemilau. Brodin bersama
rekan-rekan TKI-nya hanya makan apa adanya dari petugas keamanan. Uang
sudah tidak ada, segalanya dirampas. Mereka seakan-akan menjadi budak
dan bahan dagangan belaka.
***
Sudah tujuh hari Brodin dan rekan-rekan
TKI lainnya menghuni gudang tahanan. Suasananya sudah tampak cair
setelah ada pemilik modal Indonesia datang untuk menebus sekitar tujuh
puluh (70) tahanan itu. Lelangan pun terjadi antara petugas keamanan dan
Kartajul yang mau menebus tahanan TKI di rutan. Negosiasi pun berjalan
lancar. Petugas keamanan sepakat untuk memberikan para tahanan TKI itu
kepada Kartajul dengan harga tebusan dua puluh juta rupiah.
Para TKI, termasuk Brodin dibawa pulang
ke Indonesia. Tiga jam penerbangan berhasil ditempuh dengan cepat dan
mudah. Sebuah bis sudah siap menunggu di bandara. Mereka dibawa ke rumah
Kartajul sebagai tanggungannya. Tak ada yang melawan sedikit pun kepada
Kartajul. Mereka merasa terbantu dengan keberanian Kartajul yang telah
menebus mereka sehingga lepas dari penjara negeri seberang.
Di sana, di rumah Kartajul masing-masing
TKI diminta untuk membayar ganti uang tebusan tahanan. Masing-masing TKI
harus membayar satu juta rupiah. Para TKI masih merasa terbebani dengan
permintaan Kartajul. Mereka resah, karena mereka mayoritas berasal dari
keluarga yang tak mampu.
“Pak, kalau bisa, dua puluh juta kami bayar dengan urunan saja,” pinta Brodin.
“Tidak bisa, setiap orang harus bayar
satu juta kalau mau kembali ke rumahnya. Nanti akan saya antar ke rumah
masing-masing,” jelas Kartajul dengan sikapnya yang mata duitan.
“Kalau tidak mau, ya sudah, nanti saya kembalikan lagi ke penjara.” Kartajul mulai mengancam Brodin dan rekan TKI lainnya.
Negosiasi antara Brodin dan Kartajul pun
mendapatkan titik temunya. Mereka disuruh menghubungi keluarganya
masing-masing untuk menyiapkan uang tebusan penjara sebesar satu juta
rupiah. Dengan begitu, Kartajul bisa mendapat keuntungan empat puluh
juta lebih setelah dikurangi biaya penerbangan dari negeri seberang.
Brodin dan teman TKI lainnya sudah menghubungi keluarga di rumahnya.
Mereka sudah siap untuk menebus, namun sebagian belum ada yang siap
karena keterbatasan ekonomi, tapi mereka tetap dengan tegas menyatakan
siap.
Armada bis pun diberangkatkan menuju
daerah tahanan TKI masing-masing. Tapi, Kartajul kurang beruntung.
Beberapa TKI yang tak memiliki uang tebusan satu juta itu melarikan diri
satu persatu dari bis saat berhenti di jalan entah karena macet atau
lampu lalu lintas saat mengembangkan bibirnya yang merah. Itu dilakukan
saat Kartajul lengah dan tertidur di dalam bis. Tak dirasa, sisa tahanan
sudah tinggal sembilan belas orang. Kartajul melongok-longok. Wajahnya
merah padam. Tubuhnya bagaikan berasap dan mengepul-ngepul di kepalanya.
Sisa tahanan hanya saling memandang satu sama lain, mereka tak tahu
menahu karena sejak tadi ikut tertidur dengan pulas.
“Kenapa kalian tak lang-bilang kalau ada yang kabur?!” teriak Kartajul dengan logat daerahnya dan celurit di tangan kanannya.
“Maaf pak, kami semua tertidur sejak pemberangkatan tadi.”
Brodin sebagai orang yang dipercaya oleh
Kartajul dan rekan-rekan TKI lainnya berdiri menjelaskan peristiwa yang
terjadi. Dengan berang, Kartajul menggerutu habis-habisan. Dia berbicara
bak orang yang sedang tak sehat akal. Celurtinya diayun-ayunkan ke
sana-sini.
“Kalian jangan ba-coba kabur juga. Nanti saya bacok!”
Brodin dan rekan-rekannya mengangguk
dengan rasa penuh ketakutan melihat Kartajul yang gusar. Tak jauh dari
pandangan bis berjalan, tampak segerombolan orang berkumpul. Dengan
melongok-longok di jendela bis, Brodin berteriak meminta sopir bis
berhenti. Sudah kelihatan dengan jelas. Keluarga Brodin menunggu di
pinggir jalan raya dengan satu juta uang tebusan. Suasana suka pun
mengepul di pinggir jalan itu usai Kardiah, ibu Brodin memberikan uang
tebusan pada Kartajul yang masih kelihatan gusar. Kartajul sudah
mengalami kerugian yang sangat besar akibat tak tahu balas budi para
tahanan TKI yang melarikan diri.
Sejak itu, Brodin tak lagi menjadi TKI
ilegal. Dia mengurus surat-surat ijin dan paspor untuk menjadi TKI legal
dan mendapat naungan hukum dari negara. Itu pun dia lakukan dengan
menjual sawah dan ternak yang digembala bertahun-tahun oleh istrinya.
Dengan begitu dia berhasil mengumpulkan uang sebanyak empat puluh juta
rupiah untuk mengurus administrasi. Dari usaha dan pengorbanannya itu,
Brodin berhasil menjadi TKI legal. Sehingga setiap bulan bisa mengirim
uang kepada keluargnya rata-rata sepuluh juta. Dia mampu membangun rumah
mewah dan mempekerjakan orang untuk mengolah sawah, ladang, dan
menggembalakan ternak-ternaknya.
Bojonegoro, 27 Januari 2014
Tidak ada komentar: